Jakarta – Pemerintah menegaskan, dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Namun, kewajiban ini kerap tak dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering diabaikan.
Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
Namun, dalam pemantauan Kompas di sejumlah puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kewajiban ini banyak dilanggar. Pasien kerap mendapatkan resep obat bernama dagang dari dokter. Karena harganya jauh lebih mahal, dengan sendirinya pasien dirugikan.
Sebagai contoh, resep yang diberikan seorang dokter kepada seorang pasien yang berobat di rumah sakit umum daerah di Jakarta, Kamis (18/2). Untuk keluhan sinusitisnya, ada enam jenis obat yang harus dibeli di apotek dan dua obat di antaranya diresepkan dengan nama dagangnya. Untuk dua obat bermerek tersebut, yakni Opicef sirup (cefadroxil monohydrate) dan Mucera tablet (ambroxol), pasien itu harus membayar Rp 83.307.
Padahal, jika menggunakan obat generik, yakni cefadroxil monohydrate dan ambroxol, ia mendapatkan harga 4,3 kali jauh lebih murah. Dengan menggunakan asumsi harga paling besar dari harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah, ia mestinya hanya mengeluarkan biaya Rp 19.208 untuk mendapatkan obat serupa.
Begitu juga pasien lainnya, Ny Mi, yang berobat ke rumah sakit yang sama dengan keluhan rematik. Dari empat jenis obat yang diresepkan, dua di antaranya vitamin (berupa vitamin B kompleks dan antioksidan yang juga diresepkan dengan nama dagang), satu obat generik, dan satu obat bermerek dagang.
Franz Fale yang berobat di RSUD Abepura, Papua, juga mendapatkan resep dari dokter di rumah sakit tersebut dengan nama obat bermerek, yakni Colsancetine (chloramphenicol). Sejumlah pasien di berbagai fasilitas pelayanan pemerintah juga mendapat perlakuan yang sama.
Sebagian pasien yang ditemui di rumah sakit mengaku tidak mengerti perbedaan tentang obat generik, bermerek, atau produk paten. Mereka juga tidak pernah bertanya mengenai jenis obat yang diresepkan atau kemungkinan harganya. Sebaliknya, para dokter dan petugas apotek juga tidak memberikan pilihan kepada pasien dan keluarganya. ”Saya percaya saja apa yang diresepkan dokter,” kata Ny Mi.
Jangankan pasien yang membayar dari kantungnya sendiri, pasien miskin yang dijamin pemerintah pun belum semuanya mendapatkan obat generik. Survei citizen report card (CRC) yang dilaksanakan Indonesia Corruption Watch selama November 2009 menunjukkan belum semua pasien Jamkesmas, pemegang kartu keluarga miskin, dan surat keterangan tidak mampu mendapatkan obat generik. Survei tersebut mengambil sampel 738 pasien miskin di 23 rumah sakit yang ada di lima daerah, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdasarkan survei tersebut, 22,1 persen pasien belum mendapatkan obat gratis. Dari persentase tersebut, sebesar 79,1 persen tidak mendapatkan resep obat generik.
Berbagai alasan
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, peraturan menteri tentang kewajiban meresepkan obat generik baru akan ampuh jika diikuti insentif dan hukuman yang jelas. Namun, pengawasan penggunaan obat generik pun tidak akan mudah.
Ia berpendapat, sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Menurutnya, diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. Di berbagai negara maju, harga obat terkontrol melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial.
”Sepanjang tidak ada sistem tersebut, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah hanya menyembuhkan gejala tanpa menyelesaikan permasalahan dasarnya. Masyarakat akan terus mengeluhkan harga obat,” ujarnya.
Di lapangan, sulitnya pemberian obat generik karena berbagai faktor. Di Papua, misalnya, Direktur RSUD Abepura Aloysius Giay mengatakan, persediaan obat generik selama ini lancar dan cukup untuk tiga bulan mendatang. Pasien selalu diutamakan menggunakan obat generik. Namun, kalau obat generik tidak tersedia atau stok habis di RSUD, dengan terpaksa pasien diminta membeli di luar apotek RSUD.
Hal senada diungkapkan dokter kejiwaan di RSUD Wonosari Gunung Kidul, Ida Rochmawati. Ia menyatakan, banyak keluhan tentang penyakit pasien yang belum tersedia obat generiknya. ”Reaksi obat sangat individual. Keharusan menggunakan obat generik jangan menjadi harga mati karena bisa merugikan pasien. Tidak ada jaminan, obat generik lebih baik,” ujarnya.
Sejauh ini, yang sudah merasakan secara maksimal penggunaan obat generik dan biaya berobat lebih murah ialah pasien di puskesmas dan pasien yang mendapat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
Almi, pasien di Puskesmas Tanah Abang, misalnya, mendapatkan obat Amoksisilin dan puyer dari puskesmas itu. Ia hanya harus membayar biaya loket Rp 2.000.
Kepala Puskesmas Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rais Arum mengatakan, sebulan sekali dinas kesehatan mengirim obat yang diajukan puskesmas yang merupakan obat generik. Pasien pun tidak perlu membayar obat tersebut ketika berobat ke puskesmas.
Pasar turun
Keengganan menggunakan obat generik menyebabkan omzet obat generik yang penggunaannya dicanangkan sejak tahun 1989 menurun.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jika lima tahun terakhir pasar obat nasional naik, dari Rp 23,5 triliun (2005) menjadi Rp 32,9 triliun (2009), pasar obat generik sebaliknya malah menurun persentasenya. Pasar obat generik pada kurun yang sama hanya Rp 2,5 triliun dan kemudian Rp 3,3 triliun atau hanya berkisar 10 persen dari pasar obat nasional.
Direktur Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, pemerintah serius ingin merevitalisasi penggunaan obat generik, antara lain lewat peraturan menteri yang baru.
Penggunaan obat generik akan sangat menghemat biaya penanganan penyakit. Sejauh ini, biaya obat sekitar 60 persen dari total biaya pengobatan dan harusnya dapat lebih rendah. Sebanyak 453 obat generik yang harga eceran tertingginya dikontrol pemerintah sudah dapat mengatasi 70 persen penyakit yang ada.
Untuk memaksimalkan penggunaan obat generik, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan kesediaan dokter untuk meresepkan obat generik.
Sumber : Kompas