Optimasi Perawatan Jembatan Suramadu

No comment 1864 views

Jembatan Suramadu (JS) yang konstruksinya dirancang dengan kekuatan bertahan sampai 100 tahun kini atensi parawatannya patut dipertanyakan karena telah menuai keluhan penggunanya. Di jalur R2 (motor) sisi Surabaya, persisnya di jalan beton yang mendekati bentang tengah, sudah mengelupas terlihat batu-batu kecil, sedangkan di sisi Madura mendekati bentang tengah, juga ada jalan beton yang rusak dengan lebar antara sambungan kurang lebih 20 cm. (Pembaca Menulis, Jawa Pos, Kamis, 25 Nopember 2010).

Kerusakan ini jika dibiarkan akan melebar yang pada gilirannya akan sangat membahayakan keselamatan pengguna JS. Jangan sampai kasus amblesnya jalan jalan RE Martadinata, Kamis (16/9/2010), yang menyebabkan pelayanan publik akses jalan sentral yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Pusat Jakarta menjadi lumpuh total akan terjadi di JS juga. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa konstruksi jalan, jembatan, bangunan gedung kantor pemerintah, sekolah-sekolah yang dibangun pemerintah rusak sebelum waktunya.

Pasca pembangunan JS yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura ini diharapkan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat Madura sesuai dengan umur konstruksi bangunannya. Kapal ferry yang semula menjadi flouting bridge (jembatan terapung) satu-satunya maka pasca pembangunan JS praktis tak lagi menjadi pilihan utama penyeberangan bagi masyarakat yang lalu-lintas Surabaya-Madura dan sebaliknya.

Harapan publik terhadap operator JS adalah menjaga konsistensi tujuan perencanaan awal JS yaitu untuk kesejahteraan masyarakat Madura, konsistensi perawatan konstruksinya, dan adanya jaminan asuransi bagi para korban yang diakibatkan oleh kelalaian operator JS dalam merawatnya. Jangan sampai rusaknya JS apalagi sampai ambruk sebelum waktunya menjadi menambah daftar bukti bahwa bangsa kita pandai membangun tapi tak pandai merawatnya.

 

Akses Pelayanan Publik.

Pembangunan JS yang menelan dana Rp. 5 triliun semula diharapkan dapat beroperasi pada 2008 namun molor hingga pada 2009. Keberadaan JS yang melintasi selat Madura memiliki panjang 5.438 m serta jalan pendekat di sisi Surabaya 4,35 km dan di sisi Madura 11,50 km kini menjadi akses pelayanan publik seperti jembatan sungai Kapuas dan jembatan sungai Barito.

Beroperasinya JS sebagai akses pelayanan publik memiliki tiga fungsi, yaitu pertama, mobilisasi barang melewati jembatan semakin cepat, kedua, mobilisai perubahan budaya, dan ketiga, adalah mobilisasi peningkatan pendidikan di Madura. Jadi, beroperasinya JS akan terjadi percepatan mobilitas pergerakan manusia dan barang tapi juga mobilitas pergerakan peningkatan ekonomi, pendidikan dan sosial-budaya.

Khusus tentang dampak posistifnya di bidang ekonomi di Madura pasca pembanguan JS sulit akan terjadi secara signifikan manakala pasca pembangunan JS itu tak disertai dengan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung percepatan pergerakan ekonomi. Karenanya, optimasi pengoperasian JS diharapkan jangan sampai terjebak pada wacana untung-ruginya dari sisi materi saja. Mengingat Belanda membangun infrastruktur di Indonesia tak memikirkan apakah secara ekonomis menguntungkan atau tidak dalam waktu jangka pendek? Namun manfaatnya dirasakan oleh bangsa kita sampai sekarang utamanya infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi.

Konon biaya perawatan JS membutuhkan biaya mencapai Rp500 juta per-harinya. Baiaya yang sangat besar. Maka, guna menutup beban perawatan JS yang besar itu seharusnya menjadi beban APBN bukan hanya menghandalkan hasil dari ongkos pengguna jasa penyeberangan JS.

 

Peran BPWS.

Pasca pembangunan JS, pemerintah pusat membetuk Badan Pengelola Wilayah Suramadu (BPWS). Badan ini dibentuk melalui Keputusan Presiden (Kepres). Pemerintah daerah terlibat di dalamnya. Ada dua daerah yang terlibat di dalam badan itu, yaitu Pemkot Surabaya dan Pemkab Bangkalan.

Badan ini di samping bekerja mengelola infrastruktur JS dan akan mengembangkan kawasan di sekitar JS. Luas kawasan di kaki-kaki jembatan baik di Surabaya maupun Madura masing-masing terdapat kawasan seluas 300 ha sehingga totalnya mencapai sekitar 600 ha yang potensial untuk dikembangkan. Kawasan ini hendaknya tak jadi perdebatan berlarut-larut: apakah akan menjadi kawasan industri, atau menjadi kawasan wisata saja.

Karenanya peran BPWS diharapkan mampu memberikan kontribusi perawatan JS dan mampu mensinergikan pengelolaan dan pembangunan berbagai sarana pendukungnya. Mengingat, peran badan itu juga akan difungsikan sebagai badan yang dapat mengembangkan pola kemitraan dengan pihak swasta dalam pengembangan kawasan itu sehingga perannya mampu meringankan beban biaya operasional perawatan JS. Konon kebutuhan biaya perawatan JS mencapai Rp500 juta per-harinya. Beban perawatan ini seharusnya menjadi beban APBN bukan menjadi beban pengguna jasa penyeberangan JS.

Dengan demikian, jika sumber biaya pemeliharaan JS tak ingin membebani masyarakat pengguna JS dan tak ingin membebani APBN seluruhnya maka biaya pemeliharaan JS sangat tergantung pada hasil kerja maksimal BPWS dalam mengembangkan kawasan di kaki-kaki Suramadu. Namun, karena JS sebagai infrastruktur pelayanan publik maka sumber biaya pemeliharaannya untuk beberapa dasawarsa ke depan seharusnya menjadi tanggung jawab dari APBN karena peran BPWS sampai saat ini belum tampak hasilnya.

Pemeliharaan JS ke depan yang krusial agar tak ambruk sebelum berumur 100  tahun adalah pemeliharaan kedalaman pondasi JS yang pada awalnya dilakukan di kedalaman 45 meter. Namun, setelah dilakukan penelitian ulang, ternyata ada tiang pancangnya yang tidak menyentuh tanah keras, sehingga menurut Kepala Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional V Yusid Thoyib pada saat itu harus menambah pada kedalaman sampai 80-90 meter. Bahkan di pylon 9 tiang pancang sisi tengah yang awalnya hanya 70 meter menjadi 95-120 meter. Bagaimana kenyataan kedalaman pondasi JS yang sesungguhnya? Wallahu’alamu bisshowab.

Walhasil, bagi masyarakat pengguna JS belum mengetahui secara pasti apakah JS dijamin tak akan ambruk sebelum waktunya? Maka, apabila ternyata nantinya ambruk sebelum waktunya, jangan sampai “mengkambing-hitamkan” faktor alam sebagai penyebabnya. Kita sudah sering mendengar gedung sekolahan roboh, gedung perkantoran cepat rusak, jalan raya mudah berlobang dan jembatan ambruk setelah baru saja dibangun.

Para pelaku konstruksi bangunan seharusnya mawas diri bahwa karena apa kita belum mendengar bangunan-bangunan jembatan, irigasi dan gedung sekolahan warisan zaman Belanda ambruk meski telah berusia ratusan tahun. Tapi justru konstruksi bangunan kita seringkali “layu sebelum berkembang”? Apakah karena faktor manusianya? Apakah karena konstruksi bangunannya di bawah standar? Ataukah karena sarat KKN? Kita pasti sudah tahu jawabannya!

 

 

Oleh : M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur