Sejak awal efektivitas PP Nomor 109/2012 memang sudah diprediksi, sebab dalam proses pembuatan PP intervensi industri rokok begitu kentara.
Potret Indonesia di ranah internasional dalam hal pengendalian tembakau (tobacco control) amat buram, bahkan gelap. Pasalnya sebagai salah satu negara penggagas lahirnya Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), hingga kini Pemerintah Indonesia bergeming. Boro-boro meratifikasi/mengaksesinya, menandatanganinya pun tidak dilakukan. Presiden boleh berganti, mulai dari Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo; tapi nasib FCTC tak tersentuh sedikitpun. Padahal jika Presiden Joko Widodo konsisten dengan program Nawa Cita poin ke-5 yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, maka FCTC adalah instrumen efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia; baik dari sisi kesehatan, ekonomi, bahkan pendidikan. Tetapi analog dengan iklan obat sakit kepala: Nawa Cita? Sudah lupa tuh.
Saat ini FCTC telah menjadi hukum internasional (sejak 2004), dan telah diratifikasi/diaksesi oleh 181 negara anggota Badan Kesehatan Dunia (92% dari jumlah total negara anggota WHO). Padahal jika merujuk pada data empirik, negeri bernama Indonesia sangat mendesak untuk mempunyai regulasi pengendalian tembakau yang komprehensif, seperti FCTC itu. Pasalnya, jumlah perokok di Indonesia sungguh dahsyat, yakni lebih dari 35% dari total populasi, dan menduduki rangking ketiga di dunia, setelah China dan India. Pertumbuhan jumlah perokok di kalangan anak-anak dan remaja pun bertumbuh sangat cepat, bahkan tercepat di dunia (lebih dari 19% per tahun). Apalagi jumlah perokok pasif, yang tak kurang mencapai lebih dari 75% dari total populasi. Maka pantaslah jika konsumsi rokok yang masif dan dominan, telah merenggut hak-hak dasar masyarakat Indonesia, terutama aspek kesehatan, ekonomi, dan pendidikan.
Kendati begitu bukan berarti Indonesia nihil dengan regulasi pengendalian tembakau. Setidaknya Indonesia telah mempunyai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP inilah yang secara operasional menjadi payung hukum pengendalian tembakau, yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 36/2009 tentang Kesehatan.
Tetapi jika dilihat proses pembentukan dan juga substansinya, PP Nomor 109/2012 adalah PP yang mandul, dan dimandulkan. Sebab dalam proses pembuatan PP, intervensi industri rokok begitu kencang. Begitu pun dalam upaya amandemen PP Nomor 109/2012 tersebut, yang telah legitimasi dalam sebuah beleid, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9/2018, poin 22. Upaya memasukkan amandemen PP Nomor 109/2012 dalam Keppres Nomor 09/2018, patut diapresiasi. Mengingat, ada beberapa poin krusial terkait masalah konsumsi rokok di Indonesi, seperti narasi berikut ini.
Pertama, prevalensi merokok pada anak mengalami peningkatan signifikan, dari 7,2% pada 2013 pada 2018 meningkat lebih tajam menjadi 9,1%, dan hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan target RPJMN 2019 sebesar 5,4%. Dan hal ini sudah melewati pagu pada RPJMN 2024 yaitu 8,7%. Kedua, fenomena perokok elektronik, khususnya di kalangan remaja. Rokok elektronik dianggap lebih aman, daripada rokok konvensional. Padahal, dampaknya sami mawon alias sama saja dengan rokok konvensional. Bahkan pada batas tertentu rokok elektronik lebih berbahaya, banyak kasus membuktikan hal itu. Seperti bisa meledak saat di mulut atau di kantong celana, sehingga gigi dan mulutnya rontok, dan atau kakinya harus diamputasi.
Prevalensi merokok elektronik (electronic cigarrete) meningkat pesat, yaitu pada 2016 hanya 1,2% menjadi 10,9% pada 2018 (Riskesdas 2018). Beban pemerintah dan masyarakat jadi berganda, belum beres mengurusi rokok konvensional sekarang digempur dengan rokok elektronik. Di banyak negara, seperti di Malaysia dan Singapura, rokok elektronik adalah dilarang, ilegal.
Ketiga, peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning/PHW). Saat ini berdasar PP Nomor 109/2012 PHW adalah 40% dari bungkus rokok, baik di bungkus bagian depan dan atau bagian belakang. Peringatan kesehatan bergambar ini sudah tidak efektif memberikan informasi tentang bahaya merokok pada konsumen, atau calon konsumen. Pasalnya, gambar tersebut di lapangan banyak tertutup pita cukai sehingga praktis peringatan dan pesannya tidak terlihat.
Selain itu, peringatan bergambar sebesar 40% terlalu kecil, di bandingkan standar internasional yang rata-rata mencapai 80-90%. Bahkan sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan rokok polos/rokok putih (plain packaging), seperti di Australia dan Singapura. Contoh lain, PHW rokok di Nepal sebesar 90%, dan produk rokok Indonesia yang diekspor ke Nepal juga sudah tunduk pada regulasi tersebut.
Keempat, larangan total dan promosi iklan rokok. Terkait iklan dan promosi rokok, Indonesia adalah negara paling primitif di dunia, sebab masih melegalkan iklan dan promosi rokok di semua lini media. Padahal, sebagai contoh, di Eropa iklan rokok telah dilarang total sejak 1960, dan di Amerika telah dilarang sejak 1970. Saat ini lebih miris lagi adalah iklan rokok di media digital, tanpa kendali sama sekali. Sehingga anak-anak dan remaja sangat rentan terpapar konten iklan rokok. Dampaknya bukan hanya bertumbuh perokok anak dan remaja, tetapi rokok dan aktivitas rokok dianggap normal. Saat ini lebih dari 142 juta masyarakat Indonesia sudah mengakses internet, dan ini menjadi peluang empuk bagi industri rokok mengiklankan produk rokoknya, dan anak-anak plus remaja menjadi target utama.
Simpulan dan Saran
Dengan merujuk pada fakta dan permasalahan di atas, maka upaya pemerintah untuk melakukan amandemen PP Nomor 109/2012 adalah hal yang sangat mendesak. Hal ini membuktikan bahwa PP Nomor 109/2012 yang ada saat ini, sangat tidak efektif untuk melindungi konsumen Indonesia dari bahaya rokok, baik konsumen sebagai perokok, perokok pasif, dan atau calon perokok.
Sejak awal efektivitas PP Nomor 109/2012 memang sudah diprediksi, sebab dalam proses pembuatan PP intervensi industri rokok begitu kentara. Padahal pada konteks ideologi pengendalian tembakau, keterlibatan industri rokok dalam proses pembuatan regulasi dan kebijakan adalah tabu. Sungguh absurd jika pihak yang akan dikendalikan ikut campur dalam proses pembuatan regulasi. Ini sama saja upaya memerangi korupsi tetapi melibatkan pendapat para koruptor.
Oleh karena itu, seharusnya Presiden Jokowi konsisten dengan kebijakan Nawa Cita, khususnya poin ke-5, yakni untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebab masifnya konsumsi rokok terbukti mereduksi sisi kemanusiaan masyarakat Indonesia, dari semua aspek, khususnya kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Apalagi jika pendekatannya instrumen SDG-S, maka konsumsi rokok bertabrakan secara diametral dengan seluruh instrumen SDG-s tersebut. Dengan demikian, target pencapaian SDG-s akan nihil, kalau konsumsi rokok dibiarkan liar nyaris tanpa kendali, seperti sekarang.
Sebaiknya Presiden Jokowi mengabaikan surat dari GAPPRI dan GAPERO, yang meminta agar proses amandemen PP Nomor 109/2012 dihentikan. Secara historis, tipikal industri rokok besar di Indonesia memang selalu membangkang dengan upaya pengendalian tembakau. Padahal konteks pengendalian tembakau hanyalah mengendalikan konsumsi saja, bukan untuk melarangnya. Sekuat apapun kebijakan pengendalian tembakau tak akan membuat industri rokok di Indonesia collaps.
Keberadaan PP Nomor 109/2012 hanyalah secuil regulasi dari upaya pengendalian tembakau untuk melindungi masyarakat konsumen di Indonesia. Sementara 181 negara di dunia telah menundukkan diri pada FCTC yang nota bene merupakan instrumen regulasi yang amat komprehensif untuk melindungi warganya dari dampak merusak tembakau baik dari aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi. Presiden Jokowi seharusnya mampu menghentikan upaya patgulipat industri rokok dalam upayanya untuk menggagalkan amandemen PP Nomor 109/2012 tersebut. Sungguh tragis jika Presiden Joko Widodo melakukan pembiaran atas intervensi industri rokok dalam upaya amandemen PP Nomor 109/2012 tersebut. Lalu dimanakah konsistensi Presiden Joko Widodo dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagaimana mandat Nawa Cita?
Artikel ini pertama kali tayang di SINDONEWS.comĀ Selasa, 25 Agustus 2020.
TULUS ABADI Ketua YLKI
Source: YLKI