Surat Terbuka Untuk Presiden RI: Amandemen PP 109/2012 untuk melindungi Konsumen

Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Bapak Ir. H. Joko Widodo
di Jakarta.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Semoga Bapak Presiden selalu dalam keadaan sehat wal afiat, tak kurang suatu apa pun, atas berkah dan rahmat Allah Swt, Tuhan YME, aamiin.

Selanjutnya, izinkan kami menyampaikan poin poin kesimpulan/saran atas diskusi daring yang kami selenggarakan bertajuk “Menakar Efektivitas PP 109 Tahun 2012 untuk Melindungi Konsumen”, pada Selasa, 25 Agustus 2020, yaitu bahwa: perlindungan konsumen di Indonesia terhadap dampak negatif produk tembakau, terlihat lemah.  Oleh karena itu upaya penguatan regulasi untuk melindungi konsumen sangat mendesak, dalam hal ini adalah amandemen PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Produk Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau pada Kesehatan.

Demikian benang merah pada fokus grup diskusi daring  tersebut.  Nara sumber pada diskusi ini adalah: Veri Angriyono, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga-Kemendag RI, Sakri Sabatama, mewakili  Direktur Promkes-Kementerian Kesehatan, Lenny Rosalin-Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Agus Suprapto-Deputi Bidkor Pembangunan Kesehatan dan Kependudukan Kemenko PMK, Rolas Sitinjak-Wakil Ketua BPKN, Hasbullah Tabrany-Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, dan Said Sutomo, Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Jatim. Diskusi daring diikuti dari berbagai kalangan, dihadiri sekitar 50 orang.

Secara umum, para nara sumber sepakat bahwa perlindungan konsumen untuk produk adiktif seperti rokok/tembakau, belum terakomodir oleh UU/regulasi generik di bidang perlindungan konsumen, misalnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun demikian, bukan berarti UUPK tidak bisa dijadikan instrumen untuk mengatur produk adiktif seperti rokok/tembakau. Sebab di beberapa pasal UUPK mengatur tentang hak-hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Juga hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jernih, dan jujur. Ini poin yang relevan terkait peringatan kesehatan pada bungkus rokok, berikut konten (zat yang terkandung)  pada rokok;

Senada dengan hal itu  PP 109/2012 sudah tidak efektif lagi untuk melindungi konsumen, baik konsumen perokok aktif, konsumen perokok pasif, dan atau calon perokok. Hal ini dikarenakan secara substansi pasal pasal di dalam PP 109/2012 sudah tidak mampu menampung dinamika eksternal terkait masalah rokok dan tembakau, yaitu:

1. Masalah rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan. Ini menjadi fenomena di kalangan remaja dan anak muda. Industri rokok multi nasional getol mengampanyekan rokok elektronik sebagai rokok yang aman, lebih aman daripada rokok konvensional. Padahal faktanya bisa sebaliknya, lebih berbahaya dari rokok konvensional. Prevalensi rokok elektronik terus meningkat, saat ini mencapai 10,1 persen. Padahal lima tahun lalu hanya satu persenan saja. Masalah rokok elektronik belum diatur di regulasi manapun. Bisa saja tidak diatur di PP 109/2012, tetapi di peraturan lainnya. Yang pasti di banyak negara rokok elektronik telah dilarang total.

2. Iklan rokok di ranah media digital. Saat ini marak sekali iklan rokok di media digital. Memang iklan tersebut secara konten tidak menampilkan rokok/bungkus rokok atau orang metokok, tetapi dari sisi waktu tayang tidak ada pembatasan. Sehingga anak dan remaja akan sangat mudah untuk terpapar iklan rokok digital tersebut. Masalah iklan rokok di media digital belum diatur dalam PP 109/2012.

3. Peringatan kesehatan bergambar. Saat ini PP 109/2012 hanya mengatur 40 persen pada bungkus, bagian belakang dan bagian depan. Tetapi di lapangan PHW banyak tertutup pita cukai, sehingga pesan bahaya rokok kepada konsumen tidak tercapai. Selain itu, besaran PHW di Indonesia terlalu kecil dibanding standar internasional, yang rata rata sudah mencapai 80-90 persen  dari bungkus rokok bahkan sudah banyak negara yang menerapkan dengan kemasan polos (plain packaging).

4. Mandulnya implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR). PP 109/2012 memandatkan bahwa pemerintah daerah wajib membuat regulasi tentang  KTR, tetapi faktanya sampai ini baru 52 persen pemda yang mempunyai regulasi tentang KTR. Belum lagi soal kepatuhan yang rendah, yang disebabkan konstruksi hukum yang lemah, karena hanya selevel peraturan bupati atau peraturan wali kota. Hak ini perlu penguatan pengaturan di PP 109/2012 tersebut.

5. Iklan rokok di media luar ruang. Selain iklan rokok di media digital, juga sangat marak iklan rokok di media luar ruang. Dan ironisnya mayoritas dipasang di dekat sekolah SD/SMP. Saat ini baru 32 persenan daerah yang melarang iklan rokok di media luar ruang, termasuk DKI Jakarta. Perlu penguatan pengaturan di dalam PP 109/2012.

Merujuk pada lima hal tersebut, hal ini akhirnya berdampak pada meningkatnya prevalensi merokok pada anak secara signifikan mencapai 9,1% pada tahun 2018, bahkan jika mengacu pada target RPJMN 2014 – 2019 belum tercapai (5,4%). Saat ini sudah dicanangkan target baru RPJMN 2020 – 2024 sebesar 8,7% dan apakah bisa tercapai atau tidak sehubungan dengan bertambahnya usia produktif terutama anak muda yang sangat besar nantinya.

Oleh karena itu, YLKI dan seluruh nara sumber plus peserta diskusi daring merekomendasikan agar :

1. Pemerintah agar segera  menyelesaikan proses-proses amandemen dan mengesahkan revisi PP 109 tahun 2012 pada tahun 2020 guna melindungi konsumen secara keseluruhan, terutama menekan agar prevalensi merokok pada anak anak tidak terus meroket dan jika terus mengundur waktu pengesahan maka korban yang berjatuhan setiap hari akan terus bertambah;

2. Meminta agar pemerintah melakukan amandemen PP 109/2012 untuk mengatur hal hal krusial seperti keberadaan rokok elektronik, iklan di media digital, dan pembesaran peringatan kesehatan bergambar.

3. Meminta pemerintah agar konsisten mengamandemen PP 109/2012 sesuai amanat Perpres No. 18 Tahun 2020.

4. Memasukkan aspek perlindungan konsumen pada komoditas zat adiktif pada rumpun Strategi Nasional (Stranas) Perlindungan  Konsumen 2020-2025.

Lebih dari itu, amandemen PP 109/2012 sangat sejalan dengan upaya Bapak Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana amanat Nawa Cita, poin ke-5. Amandemen PP 109/2012 juga amat positif untuk memayungi citra pemerintah Indonesia di mata internasional, karena sampai detik ini pemerintah Indonesia tidak menjadi parties di dalam FCTC. Padahal Indonesia adalah salah satu negara inisiator lahirnya FCTC.

Demikian intisari diskusi daring yang diselenggarakan YLKI, yang bisa kami sampaikan pada Bapak Presiden. Semoga Bapak berkenan dan salam sehat selalu untuk Bapak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

ttd,

Tulus Abadi,
Ketua Pengurus Harian YLKI.


Source: YLKI

Tags: