Simpang siur informasi tentang kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite pengganti Premium yang segera dipasarkan oleh Pemerintah melalui PT. Pertamina merupakan masalah krusial yang wajib diklarifikasi kepastiannya. Karena akan menyesatkan masyarakat konsumen. Apakah kualitas Pertalite itu berkadar oktan (RON) 90.0 ataukah 91.0 sebagaimana diberitakan oleh Jawa Pos, 18 April 2015? Ataukah BBM Pertalite itu seharusnya mengandung RON 92.0 seperti RON terendah yang umum diperdagangkan di dunia sebagaimana dinyatakan oleh anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) Fahmi Radhi, (Jawa Pos, 19 April 2015)?
Manakala Kementerian ESDM RI., sebagai regulator dan PT. Pertamina sebagai operator menurunkan kualitasnya di tingkat konsumen dari RON 92.0 menjadi RON 91.0 apalagi kualitasnya diturunkan sampai pada tingkatan RON 90.0 yang tidak sesuai lagi dengan standar kualitas BBM jenis Pertalite maka dapat dikualifikasikan melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan dapat dikategorikan melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu Kementerian ESDM RI., dan PT. Pertamina telah memberikan informasi publik yang menyesatkan.
Penyimpangan kualitas BBM Pertalite itu memang kelihatannya cukup tidak signifikan bagi pengetahuan publik. Cuma turun satu angka dari RON 92.0 ke 91.0 atau cuma turun dua angka dari RON 92.0 ke RON 90.0. Tapi potensi nilai kerugian negara dan masyarakat konsumen BBM Pertalite bisa mencapai trilyunan rupiah dalam pertahunnya. Bahkan kerugian negara akibat adanya degradasi kualitas BBM Pertalite dari hulu itu akan ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka tidak salah, manakala publik curiga bahwa lounching BBM Pertalite ini hanya membentuk mafia baru dalam perdagangan migas dari hulu sampai di hilir karena rezim Jokowi? JK tidak punya keberanian memberangus mafia migas yang sudah mengakar.
Mengakarnya mafia BBM itu menghalangi masyarakat konsumen BBM mendapatkan fungsi sosial negara dalam bentuk harga BBM bersubsidi yang disalurkan melalui PT. Pertamina. Terutama bagi masyarakat petani dan nelayan yang hidup di perdesaan dan di kepulauan terpencil. Harga BBM bersubsidi di pasaran di lingkungan mereka tidak pernah berlaku sama persis dengan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana Tarif Dasar Listrik (TDL) bersubsidi dari PT. PLN. Sehingga fungsi sosial negara di sektor BBM bersubsidi tidak pernah dirasakan oleh masyarakat miskin akibat struktur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu. Apalagi BBM Pertalite yang dari sisi informasi kualitasnya saja sudah simpang siur apalagi dari sisi harga jual di konsumen akhir.
Pelaksanaan UUPK tidak hanya menjadi tanggungjawab masyarakat konsumen tapi juga menjadi tanggungjawab Pemerintah sebagai regulator dan PT. Pertamina sebagai operator. Tanggungjawab regulator wajib menjamin bahwa BBM yang dijual oleh operator tidak saja harganya wajib sesuai dengan harga yang ditetapkan regulator tapi kualitas BBM-nya wajib sesuai dengan standar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional maupun internasional, pasal 8 ayat (1) huruf a. Operator dalam UUPK pasal 7 huruf b, mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kualitas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Karena salah satu hak konsumen dalam UUPK pasal 4 huruf c adalah hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kualitas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Jangan sampai informasi kualitas BBM Pertalite yang seharusnya kandungan RON-nya 92.0 itu nantinya di konsumen akhir telah mengalami degradasi RON, sehingga RON-nya sama dengan RON BBM Premium.
Tuntutan masyarakat konsumen terhadap keandalan (reliability) pelayanan dan ketersediaan (availability) BBM tidak muluk-muluk. Pertama, harus ada kepastian harga dari regulator, naik-turunnya harga tidak berakrobatik dalam waktu yang singkat dan tampa didasari dengan konsep yang komprehensip sehingga merepotkan semua pihak. Kedua, kapastian kualitas barang, wajib sesuai dengan standar yang berlaku, bahwa standar BBM Pertalite RON-nya 92.0, bukan RON 91.0 apalagi RON 90.0. Ketiga, kepastian ketersediaan dan pelayanan takaran BBM yang sampai sekarang sering dikeluhkan masyarakat konsumen yaitu ketersedian BBM-nya selalu tidak pasti, sering habis. Selain pelayanan takarannya di SPBU tidak sesuai dengan slogan PAS. Karena seringkali PAS-nya Tidak PAS!
Pelanggaran ini jika terbukti dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 Miliar. Bahkan dalam agama regulator maupun operator yang menurunkan kualitas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan atau dengan cara mengurangi timbangan atau takarannya diancam menjadi penghuni Neraka Wel (Al-Quran, surah Al-Mutaffifin ayat 1-6)). Konon katanya, neraka yang paling bawah dan paling dekat dengan api neraka. Tapi masalahnya, apakah para pejabat publik di negara kita sekarang ini bersama para saudagarnya masih percaya terhadap adanya kehidupan akhirat nanti? Ataukah ketidak-benaran, ketidak-jelasan, dan ketidak-jujuran informasi tentang kualitas RON BBM Pertalite hanya akan menodai peringatan Hari Konsumen Nasional (HARKONAS) pada tanggal 20 April 2015? Kita tunggu informasi berikutnya!
Surabaya, 19 April 2015
Hari Konsumen Nasional (HARKONAS), 20 APRIL 2015
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur