Beberapa hari lalu, tepatnya pada Jum’at 04/08/2017, Japan Tobacco Inc telah mengakuisisi (dengan cara membeli 100 persen saham) dua anak usaha perusahaan rokok PT Gudang Garam, yakni PT Surya Mustika Nusantara (PT SMN) dan PT Karyadibya Mahardhika (PT KDM), senilai 667 juta dolar AS. Setidaknya, ini aksi korporasi kedua perusahaan rokok multinasional mengakuisisi perusahaan rokok nasional, setelah PT Phillips Morris Internasional, mengakuisisi kepemilikan saham PT HM Sampoerna beberapa tahun silam. Bagi sebagian besar kalangan, termasuk pemerintah, aksi korporasi Japan Tobacco Inc kepada PT KDM dan PT SMN, pasti dianggap positif dari sisi ekonomi dan investasi. Aksi korporasi tersebut dianggap sebagai prestasi bahwa sikon investasi di Indonesia sudah kondusif, dan aksi tersebut diprediksi akan makin menggerakkan sektor riil.
Namun, jika dicermati secara mendalam aksi korporasi ini justru akan menimbulkan potensi bencana ekonomi bagi Indonesia, bahkan bencana sosial, baik dalam jangka panjang, atau bahkan jangka pendek dan menengah. Alasannya?
Pertama, mekanisasi tenaga kerja. Japan Tobacco Inc. pasti akan melakukan mekanisasi, mereka akan mengganti tenaga kerja manusia menjadi tenaga kerja mesin. Bagaimanapun, secara ekonomi tenaga kerja mesin lebih efisien. Satu mesin bisa menggantikan minimal 900 tenaga kerja manusia. Inilah yang dilakukan PT HM Sampoerna, setelah diakuisisi oleh PT Pillip Morris Internasional. Padahal, diawal akuisisi, PT HM Sampoerna berjanji tidak akan melakukan mekanisasi tenaga kerja. Tetapi faktanya membuktikan lain. Dampak jangka pendek, akan ada rasionalisasi tenaga kerja manusia berganti menjadi mesin, alias PHK masal yang akan dilakukan PT KDM dan PT SMN pasca akuisisi oleh Japan Tobacco Inc. tersebut. Dan endingnya, akan menambah pengangguran baru, plus naiknya persentase angka kemiskinan.
Kedua, impor daun tembakau meningkat. Meningkatnya impor tembakau, mengakibatkan menurunnya penyerapan tembakau lokal. Bisa dipastikan, pasca akuisisi oleh Japan Tobacco Inc, proses produksi PT KDM dan PT SMN akan lebih banyak menggunakan tembakau impor. Tembakau impor dari China lebih murah harganya. Dampaknya, serapan tembakau impor akan meningkat, dan serapan tembakau lokal menurun. Petani tembakau lokal pun akan menderita, gigit jari. Defisit impor daun tembakau pun kian tinggi, dibanding ekspor rokok Indonesia ke luar negeri.
Selain itu, klaim kretek sebagai ciri khas rokok Indonesia akan sirna. Setelah diakuisisi perusahaan rokok Jepang, otomatis kepemilikannya berpindah ke Japan Tobacco Inc. Otomatis pula entitas kretek sebagai ciri khas rokok Indonesia tergerus menjadi rokok milik asing. Rokok kretek=rokok asing, karena pemiliknya asing. Tak ada lagi klaim bahwa rokok kretek adalah warisan budaya nasional. Walaupun klaim bahwa rokok kretek sebagai warisan budaya nasional adalah klaim konyol dan tidak berdasar sama sekali.
Ketiga, meningkatnya produksi rokok. Sebagaimana pernyataan Executive Vice President Japan Tobacco Inc, bahwa “.. negara ini (Indonesia) merupakan pasar tembakau kedua terbesar di dunia..”, tandas Executive Vice President and Presiden Tobacco Bussines, Japan Tobacco Inc. Wow, ciamik nian? Japan Tobacco Inc., dan produsen rokok multinasional lain, makin tergencet di negaranya, karena aturan/regulasi pembatasan yang ketat. Lalu mereka lari ke Indonesia untuk memasarkan produknya. Mereka tahu persis rendahnya dan lemahnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia. Akibat dari akuisisi ini, jumlah perokok Indonesia akan meningkat tajam khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Demikian juga prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak-anak. Mereka akan digempur dengan iklan dan promosi yang lebih masif, karena merekalah pangsa pasar utama dan investasi jangka panjang industri rokok. Meningkat pula dampak kesakitan akibat konsumsi rokok, dan negara harus menangungnya via BPJS. Japan Tobacco Inc akan mengeruk keuntungan berupa devisa Indonesia yang lari ke Jepang. Masyarakat dan pemerintah Indonesia gigit jari dengan sampah produk rokok, yakni penyakit dan biaya kesehatan yang melambung.
Dan pada akhirnya, trend akuisisi industri rokok multinasional akan terus terjadi di Indonesia. Mereka akan mengincar produsen-produsen rokok nasional untuk diakuisisi. Mereka tahu betul Indonesia adalah pangsa pasar untuk pemasaran rokok yang paling menggiurkan di dunia. Mereka tahu betul, regulasi pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah dan loyo. Dan, sekali lagi, dalam jangka panjang, akan menjadi beban sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Bahkan akan menjadi bencana nasional yakni rusaknya generasi akibat kecanduan rokok, generasi yang sakit, bodoh, dan bahkan miskin. Nilai ekonomi yang diperoleh tak setara dengan dampak sosial ekonomi yang didapat. Harusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia menyadari tentang hal ini.
Wassalam,
Tulus Abadi,
Ketua Pengurus Harian YLKI
Akses Informasi dan Pengaduan:
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Jl. Pancoran Barat VII No. 1 Duren Tiga, Jaksel, 12760
Telepon 021-798-1378, WA 0822-6121-1822.
Email: konsumen@ylki.or.id
Website: www.pelayanan.ylki.or.id
Donasi untuk gerakan konsumen:
BCA Cab Pasar Minggu No.Rek : 035-3-80546-8 a/n YLKI II.
Source: YLKI