Pemerintah via Menko Perekonomian hendak merevisi Perpres No. 44/2016 tentang bidang usaha tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di penanaman modal. Dengan revisi Perpres No. 44/2016 ini akan terdapat 54 bidang usaha yang akan dikeluarkan dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Tujuan paket kebijakan ini untuk menekan buruknya neraca berjalan yang terus defisit pada tiga triwulan terakhir. Diharapkan dengan pelonggaran (relaksasi) aturan semacam ini, aliran modal (investasi) asing ke 54 sektor tersebut akan semakin besar, dan bisa menyelamatkan defisit neraca berjalan.
Salah satu sektor industri yang dikeluarkan dari daftar DNI tersebut adalah industri rokok. Dengan kata lain, pemerintah berharap investasi asingi masuk ke industri rokok. Industri rokok asing menggerojokkan modalnya untuk investasi. Alamaaak.. ini kebijakan kontraproduktif! Kenapa?
Pertama, akan terjadi pencaplokan industri rokok nasional oleh industri rokok asing, sebagaimana terjadi pada PT HM Sampoerna dicaplok oleh PT Phillips Morris Internasional, dan anak perusahaan PT Gudang Garam oleh dicaplok oleh Japan Tobacco Company. Jika hak ini terjadi, dampak konkritnya justru akan terjadi pelarian modal/devisa ke luar negeri. Industri rokok asing mengeruk untung di Indonesia, dan sebaliknya berbagai penyakit dan dampak sosial ekonomi dan finansial akan diwariskan di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Indonesia akan menanggung warisan tersebut.
Kedua, buntut setelah pencaplokan (karena ada suntikan dana) maka produksi rokok akan meningkat, pemasaran dan promosi semakin masif dan agresif, dan endingnya adalah konsumsi rokok di tengah masyarakat juga meningkat tajam. Alias pemerintah mendorong agar bermunculan perokok-perokok baru, terutama anak-anak dan remaja. Atau perokok aktif yang sudah eksisting untuk meningkatkan kapasitas merokoknya. Pemerintah akan berdalih untuk dieskpor? Dengan produksi rokok nasional yang tidak kurang dari 350 miliar batang/tahun, 90 persen lebih masuk ke mulut konsumen Indonesia. Hanya sekuku hitamnya saja untuk keperluan ekspor.
Ketiga, dengan konfigurasi yang demikian gamblang, artinya, pemerintah hanya berfikir instan, cetek. Benar manakala produksi dan konsumsi naik, pemerintah akan mendulang pendapatan yang lebih banyak via kenaikan cukai, pajak, dll. Tetapi ini logika yang sangat instan, bahkan tidak melihat realitas empirik bahwa produksi dan konsumsi rokok yang meningkat tajam, akan berbanding lurus dengan peningkatan kemiskinan, akan berbanding lurus dengan angka kesakitan akibat rokok. Apakah Menteri Perekonominan “buta” dan “budek” bahwa menurut data BPS dan hasil survei Riskesdas, plus data lainnya; konsumsi rokok telah memicu peningkatan kemiskinan di rumah tangga miskin? Demikian juga di sektor kesehatan, konsumsi rokok menyumbang signifikan untuk penyakit katastropik, dan itulah yang menjebol finansial BPJS sehingga semakin bleeding? Dengan dua fakta itu saja, seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan industri rokok dari DNI.
Atas dibukanya DNI untuk industri rokok, sama artinya Pemerintah telah menjadikan masyarakat dan konsumen Indonesia sebagai tumbal atas kegagalannya menyelamatkan defisit neraca berjalan. Kebijakan ini jelas tidak sejalan dengan visi Nawa Cita yang diusung Presiden Jokowi, yakni meningkatkan sumber daya manusia dan derajat kesehatan rakyat. Membuka kran DNI untuk industri rokok adalah jalan lempang untuk menurunkan derajad kesehatan masyarakat, dan jalan lempang untuk melakukan penghancuran sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan. Dan jangan mimpi pemerintah Indonesia bisa mewujudkan berbagai tujuan pembangunan yang dimandatkan oleh SDG’s. Jadi, pemerintah seharusnya menutup rapat industri rokok dari DNI, bukan malah membukanya. Jangan jadikan masyarakat sebagai tumbal atas kegagalan mengelola perekonomian negara. Hanya satu kata: batalkan kebijakan mengeluarkan industri rokok dari Daftar Negatif Investasi! *
Wassalam,
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI Seluler: 0818-195-030
Source: YLKI