Survei YLKI: Efektivitas Penandaan Kandungan Pemanis Buatan pada Label Pangan

Implementasi aturan pelabelan masih belum maksimal, terlihat dari penandaan tertulis pada label yang kurang terlihat dan terkesan seadanya

Seiring perkembangan jaman, mulai dikembangkanlah sumber pemanis lain yang diciptakan atau disintetik dari bahan kimia untuk memberi rasa manis yang sama dengan pemanis alami. Pemanis seperti inilah yang saat ini dikenal dengan pemanis buatan.

Berbeda dengan gula pada umumnya, pemanis buatan merupakan golongan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak memiliki nilai gizi apapun. Sehingga acapkali diklaim lebih aman bagi mereka yang ingin menikmati rasa manis tanpa mengkhawatirkan kelebihan kalori.

Terdapat 13 (tigabelas) pemanis dan pemanis buatan yang diizinkan untuk digunaan dalam pangan olahan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, dibalik keunggulan rasa manisnya, diduga pemanis buatan dapat menyumbang banyak dampak negaitf bagi kesehatan konsumen. Berbagai studi telah dilakukan untuk menguji dampak konsumsi pemanis buatan terhadap kejadain penyakit, seperti gangguan fungsi ginjal, kegemukan, penyakit saraf, hingga kanker. Sehingga beberapa negara sudah membatasi bahkan melarang secara ketat penggunaan pemanis buatan.

Berdasarkan regulasi yang ada, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 33 tahun 2012 tantang Bahan Tambahan Pangan (BTP), dan Keputusan Kepala BPOM No HK.00.05.5.1.4547 tahu 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, dikatakan bahwa ada jenis dan batas tertentu dalam penggunaaan pemanis buatan yang dihitung berdasarkan Acceptable Daily Intake (ADI) dan peraturan penandaan khusus dalam pelabelan pangan olahan berpemanis buatan. Sayangnya, implementasi aturan pelabelan tersebut masih belum maksimal, terlihat dari penandaan tertulis pada label yang kurang terlihat dan terkesan seadanya. Sehingga konsumen tidak menyadari bahwa produk pangan yang dikonsumsi ternyata mengandung pemanis buatan dan ada aturan khusus untuk kebijakan dalam mengonsumsi.

Oleh karena itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga swadaya masyarakat nirlaba yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen melakukan kegiatan untuk membangun kesadaran (awareness) masyarakat konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam bentuk survei dan analisis label produk-produk pangan berpemanis buatan, khususnya yang berisiko dikonsumsi oleh anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Analisa label dilakukan terhadap 25 merek produk pangan yang pada labelnya terdapat penandaan mengandung pemanis buatan.

Sedangkan responden survei sebanyak 90 orang yang terdiri dari 30 orang ibu hamil, 30 orang ibu menyusui, dan 30 orang ibu yang memiliki anak balita. Cakupan wilayah survei berada di Jakarta Selatan yang dilakukan pada Maret – April 2019. Adapun hasil dari analisa yang dilakukan YLKI adalah sebagai berikut:

  1. Sebanyak (47%) konsumen sudah mengenali lebih dari 10 produk pangan yang mengandung pemanis buatan di antara 25 produk yang dijadikan sampel;
  2. Ada 3 (tiga) produk minuman serbuk dan 1 (satu) produk bumbu masakan yang paling populer di kalanagn responden;
  3. Mayoritas balita (43,3%) pernah mengonsumsi pangan berpemanis buatan jenis minuman serbuk, sedangkan sebagian besar ibu hamil (70%) dan ibu menyusui (80%) responden mengaju pernah mengonsumsi bumbu masakan yang mengandung pemanis buatan;
  4. Mayoritas responden (90%) pernah mendengar istilah pemanis buatan, tetapi mayoritas dari mereka (45%) mempersepsikan sebagai pengganti gula/biang gula.
  5. Sebanyak 96% responden survei tidak mengetahui nama-nama jenis pemanis buatan;
  6. Teman/keluarga dan sosial media menjadi sumber utama informasi responden terkait pemanis buatan;
  7. Hanya 2 dari 13 pelaku usaha yang mewakili seluruh sampel produk yang memberikan tanggapan melalui contact center konsumen;
  8. Masih banyak responden (51%) mengaku jarang membaca label pangan yang dibelinya;
  9. Jikapun pernah, maka perhatian belum difokuskan pada informasi komposisi dan peringatan kesehatan;
  10. Kendati konsumen sampel survei pernah membaca penandaan terhadap adanya pemanis buatan pada label pangan, mereka menyimpulkan bahwa penandaan tersebut tidak efektif, karena dinilai konsumen tulisan terlalu kecil, tulisan tercetak samar-samar, tulisan tersembunyi, tidak ditandai secara khusus, tidak terbaca, tulisan tidak menarik perhatian, kalah bombastis dengan klaim produk, penempatan info dianggap tidak penting, tulisan terselip di lipatan kemasan dan terkesan tidak niat membuat penandaan.

Dengan temuan ini, YLKI merekomendasaikan ke pemerintah melalui BPOM dan Kementrian Kesehatan untuk menyampaikan informasi kepada konsumen dalam kategori rentan agar dapat memahami maksud dari peringatan kesehatan yang tercantum pada label, dan selanjutnya melakukan pengawasan.

Regulasi terkait penandaan pada label pangan yang mengandung pemanis buatan harus segera ditinjau dan dilakukan survei seperti memperjelas/memperbesar tulisan (penandaan), memberi warna khusus, bahkan memberikan peringatan kesehatan berupa gambar agar mudah dipahami konsumen.

Pelaku usaha agar memberikan informasi yang jelas dapa label pangan sehingga tidak terjadi asimetris infromasi di mana terdapat infromasi penting yang tersembunyi di balik bombastisnya klaim produk pangan.

Untuk mendapatkan hasil survei secara lengkap; silahkan menghubungi YLKI  – Bidang Penelitian

TIM PENELITI YLKI


Source: YLKI

Tags: