Kajian Kelembagaan pelaku usaha dalam Undang-Undang Cipta Kerja bagi Perlindungan Konsumen. Bahwa Undang-Undang Cipta Kerja hanya bisa diterapkan di negara yang berideologi sosialis. dan tidak cocok diterapkan di negara yang berideologi Pancasila dan UUD 1945.
M Said Sutomo, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa-Timur menyatakan, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja hanya bisa diterapkan di negara yang berideologi sosialis.
“Tidak cocok diterapkan di negara yang berideologi Pancasila dan UUD 1945,” ucapnya.
Menurut Said Sutomo, pernyataan ini sudah pernah disampaikan via Radio SS Rabu (7/10/2020) tadi pagi.
Dijelaskannya, Undang -Undang ini diselengarakan berdasarkan asas resistensi pemerataan hak. Dalam pasal 2 ayat (1) menegaskan Undang -Undang ini diselengarakan berdasarkan asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan dan kemandirian.
Dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud pemerataan hak adalah penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia, dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apakah bisa diterapkan di negara kita yang sudah mengeterapkan asas Pancasila dengan pendekatan perpaduan antara penghargaan terhadap tenaga kerja dengan pendekatan fungsional, profesionalitas dan kapabilitas, berdasarkan pendekatan struktural seseorang di kelembagaan usaha ?
“Pengeterapan asas pemerataan hak ini hanya bagus dalam cita cita, tapi utopia dalam pelaksanaan. Asas ini sangat berbau ideologi sosialis, sama rata, sama rasa, atau senasib sepenanggungan,” ujar Said Sutomo.
Asas ini menimbulkan resistensi di kalangan tenaga struktural maupun fungsional yang ada selama ini. Hal ini akan potensial berpengaruh kepada penurunan kualitas ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dalam memberikan standar pelayanan yang prima kepada konsumennya.
Selain itu, mengenai standar izin usaha berbasis risiko dan dimensi perlindungan konsumen. Dalam pasal 7 ayat (1) diatur bahwa perizinan berusaha berbasis risiko, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
Kemudian ayat (2) penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.
Sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan terhadap aspek : kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya dan atau resiko volatilitas.
Bagaimana jika aspek-asepek ini dikaitkan dengan zat aditif yang membahayakan ?
Ketentuan pasal 7 ayat (1) s/d ayat (3) di atas menjadi kendur dengan adanya ayat (4) yang menegaskan bahwa untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
Dan ayat (5)yang menegaskan bahwa penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan : jenis kegiatan usaha, kriteria kegiatan usaha, lokasi kegiatan usaha dan keterbatasn sumber daya.
Yang dimaksud dengan tingkat risiko adalah potensi terjadinya suatu bahaya terhadap kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam atau bahaya lainnya yang masuk ke dalam kategori rendah, menengah atau tinggi.
“Di dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 8 ayat (1) huruf 1 jo pasal 62 ayat (2) menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegas Said Sutomo.
Sedangkan, dalam pasal 62 ayat(1) mengatur ancaman bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
Perlindungan konsumen dan peraturan pelaksanaan izin berbasis risiko. Peraturan pelaksanaan dalam pasal 12 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha berbazis risiko sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, pasal 8, pasal 9, dan pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaiman dimaksud dalam pasal 11 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Maka dalam Rancangan Peraturan pelaksanaannya perlu dicermati bahwa keterbangunan keberadaan eksistensi pelaku usaha yang izin usaha berbasis risiko perlu mempertimbangkan : Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan, Undang Undang sektor lainnya yang memiliki dimensi perlindungan konsumen barang dan atau jasa yang ada di tengah tengah masyarakat,” cetus Said Sutomo.
Perihal sertifikat berisiko menengah tinggi wajib dipenuhi sebelum melakukan usaha/pra pasar. Dalam pasal 9 ayat (1) menegaskan bahwa perizinan berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah , sebagaiman dimaksud dalam pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi : kegiatan usaha berisiko menegah rendah, dan kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
Dan selanjutnya ditegaskan pada ayat (2) perizinan berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa : pemberian nomor induk berusaha dan pernyataan sertifikasi standar.
Maka pada ayat (3) mengatur perizinan berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa : nomor induk berusaha dan pemenuhan sertifikat standar.
Dalam pelaksanaannya diatur bahwa, ayat (4) pernyataan sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan pelaku usaha yang telah memenuhi standar, sebelum melakukan kegiatan usahanya.
Ayat (5) pemenuhan sertifikat standar, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan kewajiban standar yang telah dipenuhi oleh pelaku usaha , sebelum melakukan kegiatan usahanya.
Sumber : Mediasurabayarek