YLPK Jatim Kritik Klinik L’Viors Surabaya Soal Kasus Stella

Stella Monica, warga Surabaya yang menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik usai dilaporkan oleh klinik kecantikan, tempatnya melakukan perawatan. (CNN Indonesia/Farid)

Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur mengatakan komplain Stella Monica tentang layanan klinik kecantikan di Surabaya, L’Viors, mestinya tak sampai ke ranah pidana. Apalagi dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hal itu resmi disampaikan YLPK melalui resminya yang bernomor 65/YLPK-JATIM/L-Opini/X/2021 tentang Legal Opini Kriminalisasi Masyarakat Konsumen.

Ketua YLPK Jatim Muhammad Said Sutomo menyebut apa yang dilakukan L’Viors, yakni melaporkan seorang konsumennya sendiri, adalah bentuk kriminalisasi.

“Ini kriminalisasi, enggak bisa dong [dilaporkan]. Hak konsumen itu hak untuk didengar keluhannya, itu ada di dalam UU,” kata Said, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (29/10)

YLPK berpendapat bahwa Stella berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal mengeluarkan pendapat dan keluhan.

Status Stella sebagai konsumen L’Viors ini sudah jelas, sebab ada transaksi sehingga muncul hak dan kewajiban konsumen dengan pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 4, pasal 5 pasal 6 dan pasal 7 UU Perlindungan Konsumen.

“Seharusnya pakai UU Perlindungan Konsumen. Dia ini [Stella] jadi korban, mengalami kerugian,” ujarnya.

Apa yang dilakukan Stella, yakni mengeluhkan kondisi wajahnya di media sosial, menurut Said juga merupakan hak konsumen. Dan bukan suatu kejahatan, apalagi sampai dijerat Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU RI Nomor 19 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE.

“Pendapat dan keluhan konsumen Stella kepada L’viors di media sosial, menurutnya juga bukan termasuk actus reus atau perbuatan melanggar pidana,” ucapnya.

Pasalnya sebelum mengunggah curhatan di media sosial, Stella sudah beberapa kali melakukan komplain secara langsung. Namun ia tak mendapatkan respons yang baik dari pihak L’Viors.

“Siapapun yang di posisi begitu [dirugikan] akan melakukan umpatan di media sosial, karena tidak ada saluran. Seharusnya setiap pelaku usaha membuka akses untuk komplain. Pengusaha juga harus ada jaminan bahwa produknya itu tidak akan mengecewakan,” kata Said.

Sementara itu, pihak L’viors mengatakan bahwa legal opini YLPK itu berat sebelah. Pihaknya juga merasa tak pernah dimintai keterangan dari YLPK Jatim.

“YLPK ini mendapatkan tekanan sepihak. YLPK tidak pernah meminta keterangan kepada kami soal kejadian sebenarnya,” kata Kuasa Hukum L’Viors, HK Kosasih, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com.

Menurut mereka, saat melakukan protes di media sosial, Stella sudah tidak lagi berstatus sebagai konsumen L’viors, sebab yang bersangkutan telah menjalani perawatan di klinik kesehatan lain.

“Jelas Stella ini sudah tidak lagi sebagai konsumen, dia sudah sembuh, kemudian dia berobat ke pihak klinik lain,” ucapnya.

Seperti diketahui, Stella Monica dipidanakan dengan dugaan pencemaran nama baik UU ITE. Ia dilaporkan oleh klinik kecantikan L’Viors, tempat dirinya menjalani perawatan.

Dalam proses persidangan, jaksa menilai Stella telah melanggar Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU RI Nomor 19 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia pun dituntut dengan ancaman hukuman pidana 1 tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider 2 bulan kurungan.

Sumber : CNN Indonesia