Akhirnya, Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan (Kes) sebesar 100 persen untuk semua kelas. Jika dilihat darj sisi instan finansial, kenaikan tersebut bisa menjadi solusi atas defisit finansial BPJS Kesehatan.
Namun demikian, jika dilihat dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan itu sendiri.
Setidaknya ada dua hal yang bisa memicu fenomena kontra produktif, yakni pertama, akan memicu gerakan turun kelas dari para anggota BPJKes, misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua dan seterusnya.
Kedua, akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persenan. Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJS Kes secara keseluruhan.
Baik Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim maupun Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak setuju adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Ketua YLPK Jatim, Said Sutomo menyatakan, pihaknya setuju seharusnya tidak dinaikkan iuran BPJS Kesehatan itu.
“Apalagi jika berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat (3) disebutkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak,” ucapnya.
Menurut Said Sutomo, jikalau mengacu pada amanat UUD 1945 tersebut, rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma atau gratis, karena semua fasilitas pelayanan kesehatan ditanggung oleh negara.
“Seharusnya, sebelum menaikkan iuran BPJSKes, pemerintah dan managemen BPJSKes melakukan langkah langkah strategis,” kata Said Sutomo.
Langkah strategis itu di antaranya adalah melakukan cleansing data golongan PBI. Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran, banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Faktanya, di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat.
Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran.
Selain itu, juga mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJSKes, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJSKes.
“Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJSKes daripada yang sudah menjadi anggota,” cetusnya.
Terobosan lainnya adalah mengalokasikan kenaikan cukai rokok secara langsung untuk BPJSKes. Baru saja Menkeu menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen. Kenaikan cukai rokok_urgent dialokasikan karena dampak eksternalitas negatif rokok, seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan aspek preventif promotif produk yang dikonsumsinya.
Jika ketiga point itu dilakukan maka secara ekstrim kenaikan iuran BPJSKes tidak perlu dilakukan. Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100 persen.
Pasca kenaikan iuran YLKI meminta pemerintah dan managemen BPJSKes untuk menjamin pelayanan yang lebih prima dan handal.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan, tidak ada lagi diskriminasi pelayanan terhadap pasien anggota BPJSKes dan non BPJSKes.
Lebih penting lagi, tidak ada lagi faskes rujukan yang menerapkan uang muka untuk pasien opname.
YLKI juga mendesak pihak faskes, khususnya faskes rujukan untuk meningkatkan pelayanan, dengan cara melakukan inovasi pelayanan di semua ini, baik layanan di IGD, poliklinik dan instalasi farmasi.
Sumber : Media Surabaya Rek