Anomali Kejutan Menurunkan Tarif Jalan Tol Lebaran

jalan tolPresiden Jokowi telah membuat anomali kejutan dengan menurunkan tarif jalan tol 25-30 persen selama lebaran 2015. Hal itu disampaikan ketika meresmikan jalan Tol Gempol – Pandaan Jawa Timur. Karena kebijakan itu tidak se-aspirasi dengan Sila ke-5 Pancasila yang menyatakan: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan, penurunan tarif jalan tol itu hanya akan dapat dinikmati oleh segelintir orang-orang pemilik kendaraan pribadi saja serta tidak akan punya dampak positif terhadap tarif angkutan umum lebaran 2015 yang lewat jalan tol.

Sejatinya, harapan publik justru ingin merasakan kejutan dari Presiden Jokowi agar mampu menurunkan harga sembilan kebutuhan pokok pangan Rakyat Indonesia (1. beras, sagu dan jagung, 2. gula pasir, 3. sayur-sayuran dan buah-buahan, 4. daging sapi, ayam dan ikan, 5. minyak goreng dan margarin, 6. susu, 7. telur, 8. minyak tanah atau gas ELPIGI, 9. garam beriodium atau bernatrium) yang harganya terus meroket di pasaran sejak Pebruari 2015 dengan tanpa mengurangi derajat keuntungan para petani, para peternak ayam, peternak sapi, para nelayan dan produsen lainnya. Di sinilah letak paradok kebijakan yang menjadi tantangan Presiden Jokowi.

Harga beras umpamanya sejak bulan Pebruari 2015 itu sudah melampau pada kisaran harga wajar Rp. 8000,- sampai dengan 9000,- perkilogram. Bahkan sekarang sudah menyentuh di kisaran harga hampir Rp. 12.000,- perkilogram. Bisa dibayangkan berapa harga beras yang harus dibeli oleh rakyat mskin di perdesaan dan pulau terpencil. Masyarakat berteriak, namun pemerintah beralasan bahwa harga tersebut diserahkan ke mekanisme pasar. Fungsi negara dan pemerintahannya seolah-olah tumpul tidak punya daya menghadapi cukong-cukong perekayasa harga barang kebutuhan pokok di pasar.

Padahal Undang-Undang No. 18/2012 tentang Pangan dalam hal penanganan stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, pasal 55 menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen untuk melindungi daya beli petani, nelayan, pembudi daya ikan, pelaku usaha pangan mikro dan kecil serta menjaga keterjangkauan konsumen terhadap pangan pokok. Presdien Jokowi seharusnya menjalankan amanah undang-undang ini bukan lainnya dengan menurunan harga kebutuhan pangan pokok rakyat Indonesia. Jika ini bisa dilakukan jelang bulan suci Ramadhan ini, itu baru kejutan!

Kebijakan menurunkan harga pangan pokok rakyat akan lebih terasa dapat dinikmati langsung oleh seluruh lapiran rakyat Indonesia di mana pun berada dibanding dengan menurunkan harga tarif jalan tol yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat Indonesia yang sejati telah bergelimang kemewahan dan kenikmatan. Sedangkan kebutuhan pangan pokok rakyat Indonesia seolah-olah lepas dari perhatian Presiden Jokowi untuk menurunkan harganya dari harga di pasaran, minimal ada upaya kongkrit melakukan stabilisasi harga yang menguntungkan kedua belah pihak, menguntungkan para petani, nelayan dan produsen serta mengurangi beban ekonomi konsumen.

Realisasi penguatan Undang-Undang No. 8/2012 tentang Pangan itu telah diundangkan yaitu Undang-Undang No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu asas undang-undang ini adalah untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani. Tapi dalam kenyataannya para petani tak pernah berdaulat dan mandiri. Meski Presiden Jokowi telah menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering (GK) dari petani menjadi Rp 3.700 perkilogram, sekitar Maret 2015, lebih tinggi 10,4 persen dibandingkan harga GK sebelumnya, namun kenaikan harga GK tersebut belum mampu menciptakan gairah baru bagi para petani.

Ada enam tujuan Undang-Undang No. 13/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang tercantum dalam pasal 3. Pertama, mewujudkan kedaulatan dan kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik; Kedua, menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan Usaha Tani; Ketiga, memberikan kepastian Usaha Tani; Keempat, melindungi Petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen; Kelima, meningkatkan kemampuan dan kapasitas Petani serta Kelembagaan Petani dalam menjalankan Usaha Tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan; dan Keenam, menumbuh kembangkan kelembagaan pembiayaan Pertanian yang melayani kepentingan Usaha Tani.

Selama enam tujuan perlindungan dan pemberdayaan petani itu tidak segera terwujud dalam rezim Jokowi, maka stabilisasi pasokan dan harga sembilan pangan kebutuhan pokok akan selalu dikendalikan oleh para cukong swasta dan birokrasi. Pada gilirannya, kedaulatan dan kemandirian para petani selalu terbelenggu. Sedangkan Pemerintah akan semakin tidak punya daya menstabilisasikan harga pangan pokok yang diserahkan pasar, apalagi menurunkan harganya. Oleh karenanya, penurunan tarif tol lebaran sebesar 25-30 persen hanyalah anomali kejutan! Karena tidak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

91_said-sutomo-jp

Oleh : M. Said Sutomo – Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur

Surabaya, 13 Juni 2015