Buy The Service Angkutan Umum

No comment 2155 views

btsDalam ilmu transport modelling, ada istilah route choice. Kita diharuskan untuk memilih atau akan bersama-sama terjebak dalam kubangan kemacetan lalulintas. Karena problematikanya mirip dengan problem yang diistilahkan oleh filsuf Inggris, Philippa Foot sebagai trolly problem seperti gambaran dalam artikelnya, “The Problem of Abortion and the Doctrine of the Double Effect” (Oxpord Review, 1967).

Pembangunan infrastruktur angkutan massal di kota-kota besar sekarang ini sedang berpacu dengan tingkat konsumerisme masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Sikap konsumerisme itu sehingga tak peduli tentang kepemilikan kendaraan pribadinya meskipun diyakini akan menambah kemacetan lalulintas di jalan raya. Bahkan dalam satu keluarga terasa tak cukup hanya punya satu unit kendaraan bermotor.

Konsumerisme kendaraan pribadi ini membuktikan bahwa sarana transportasi menjadi kebutuhan dasar hajat hidup masyarakat banyak. Hak konstitusi Warga Negara itu telah disebutkan dalam Undang-Undang 1945 Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggungjawab atas penyediaan pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Termasuk fasilitas pelayanan umum transportasi berupa angkutan umum. Namun karena hak konstitusi itu tak pernah terpenuhi menyebabkan laju pertumbuhan kendaraan pribadi tidak seimbang dengan pertumbuhan ruas jalan.

Banyak cara atau jalan keluar yang telah digunakan untuk menyelesaikan masalah kemacetan di jalan tapi ternyata belum juga mujarab. Karenanya, upaya untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi di antaranya adalah memperbaiki pelayanan angkutan umum dan tentunya dengan mempersempit ruang penggunaan kendaraan pribadi.

Konsep Buy the Service angkutan umum yang sedang direncanakan oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini seperti dirilis Jawa Pos edisi 11 Oktober 2013 merupakan terobosan baru yang perlu diapresiasi. Kebijakan ini manakala terealisasi akan menjadi kebijakan kali pertama di Indonesia dan jika sukses akan mengimbangi program DKI Jakarta dalam membangun MRT (Mass Rapid Transit) yang sedang dilaksanakan.

Buy the Service adalah salah satu aspek penting dalam mereformasi sistem angkutan umum di Kota Surabaya. Sistem ini harus mampu me-replace sistem lama angkutan perkotaan yang selama ini berbasis setoran. Buy the Service – sesuai dengan kaidah namanya – adalah sistem pembelian pelayanan oleh Pemerintah kepada pihak operator (swasta/koperasi/BUMN) untuk melayani masyarakat. Hal ini berarti bahwa angkutan umum harus memberikan pelayanan berbasis konsumen.

Sebelum konsep Buy the Service angkutan umum di Kota Surabaya direalisasikan maka perlu adanya kajian multidisipliner yang serius dari para ahli sejak dari perencanaan sampai dengan dalam pelaksanaannya dalam membangun komitmen dan konsistensi dalam operasionalnya di lapangan. Selain itu, para stakeholders angkutan umum yang terdiri dari Pemerintah dalam hal ini dinas terkait, operator angkutan umum dan masyarakat konsumen perlu diakomodir partisipasi aktifnya terutama dalam memberikan outcome konektifitas area pelayanannnya.

Karena dalam konsep Buy the Service paling tidak ada sembilan pilar yang wajib menjadi komitmen para stakeholders. Pertama, operator tidak menggunakan sistem setoran. Kedua, mekanisme subsidi semacam ini harus mudah dilakukan dan steril dari praktik KKN. Keempat, orientasi operator (termasuk pengemudi) hanya berkonsentrasi pada pelayanan. Kelima, operator akan dibayar sesuai dengan kilometer layanan.

Keenam, ada standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh para operator (termasuk pengemudi) dan hanya berhenti di tempat henti dan pada waktu yang telah ditentukan. Ketujuh, output standar pelayanannya lebih mengedepankan pelayanan masyarakat (public services). Kedelapan, Pemerintah berkewajiban melengkapi pembangunan tempat henti khusus dan sistem tiket otomatis untuk menghindari kebocoran dan memudahkan evaluasi. Kesembilan, implementasinya diawali dengan peremajaan angkutan umum.

Selanjutnya sistem Buy the Service ini perlu dilakukan dengan sistem pengawasan yang ketat. Karena praktik di lapangan, besar kemungkinan terjadi penyimpangan dari komitmen awal yang pada gilirannya akan menimbulkan trolly problem (problem kereta). Manakala hal ini terjadi maka keberadaan jasa angkutan umum di Kota Surabaya akan mati karena berhadapan dengan masyarakat penggunanya yang oleh Lerry Selden & Geoffrey Colvin (2004) disebut Killer Customers. Pada gilirannya proyek Buy the Service angkutan umum yang digelontor dari APBD Kota Surabaya menjadi muspro.

SAID SUTOMOKita telah diingatkan oleh Selden & Colvin, bahwa setiap pebisnis sejati selalu menyadari bahwa setiap konsumen tidak ingin mendapatkan kesulitan. Produk barang dan jasa yang ditawarkan ke konsumen menurutnya jangan berhenti pada konsep produk-sentris atau fungsi-sentris tapi harus mempunyai nilai konsumen-sentris. oleh karenanya, ketersediaan kualitas angkutan umum di Kota Surabaya dalam konsep Buy the Service nantinya? diharapkan tak hanya pada pelayanan fungsi-sentris saja: Pokok-e iso ngglundung atau asal bisa jalan seperti keberadaan angkutan umum selama ini! Wassalam.

Oleh: M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur