KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan kantong plastik berbayar yang diujicobakan sejak 21 Februari 2016, bersamaan dengan peringantan Hari Peduli Sampah Nasional. Kemudian, pada Juni mendatang dikeluarkan peraturan kantong plastik berbayar dari menteri LHK.
Kebijakan tersebut bertujuan mengurangi pencemaran lingkungan dari sampah plastik. Sayang, beban diberikan kepada masyarakat konsumen (pengguna akhir), bukan kepada produsen kantong plastik dan pelaku usaha ritel (pengguna antara). Konon, jumlah timbunan sampah kantong plastik terus meningkat secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan masyarakat Indonesia setiap tahun.
Dari jumlah tersebut, hampir 95 persen kantong plastik menjadi sampah. Padahal, kantong plastik sulit diurai lingkungan. Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang menjadi penghasil sampah plastik terbesar yang dibuang ke laut.
Karena itu, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Indonesia butuh pengurangan jumlah penggunaan kantong/kemasan plastik dan penanganannya. KLHK mencatat, timbunan sampah plastik diperkira- kan 14 persen dari total jumlah timbunan harian. Atau 24.500 ton per hari, setara 8,96 juta ton per tahun.
Sejak 21 April 2016, sebanyak 22 kota di Indonesia serentak memberlakukan sistem kantong plastik berbayar yang dicanangkan KLHK itu guna mengurangi produksi sampah, terutama dari bahan plastik. Sistemnya diatur pemerintah provinsi sampai tingkat kota.
Karena mendapatkan kantong plastik tidak gratis, konsumen mendapatkan perlindungan hukum. UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak hanya melindungi konsumen terhadap produk barang dan/jasa yang dibeli. Tapi, juga mendapatkan perlindungan hukum terhadap kantong plastik yang dibeli.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menetapkan harga minimal standar Rp 200 untuk setiap kantong plastik. Namun, sejumlah kota memberikan tarif harga yang lebih tinggi agar masyarakat lebih terbebani dan berinisiatif untuk membawa tas belanja sendiri dari rumah. Contohnya, Pemprov DKI Jakarta memberlakukan harga Rp 5.000 di seluruh tempat perbelanjaan. Baik pasar swalayan, minimarket ritel, maupun pasar tradisional. Sementara itu, Balikpapan menerapkan tarif bayar Rp 1.500 per kantong plastik. Di Kota Bandung Rp 200, sedangkan di Makassar menerapkan harga bayar Rp 4.500 per kantong plastik, ( Jawa Pos, 22 Pebruari 2016).
Persoalannya, apakah kebijakan Kementarian LHK tentang kantong plastik berbayar itu bakal mampu mengubah perilaku masyarakat mengurangi penggunaannya secara efektif? Jawabannya bisa iya, bisa tidak.
Kebijakan itu bisa mengurangi konsumsi penggunaan kantong plastik manakala KLHK bersama pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten tidak hanya mengatur peredaran kantong/kemasan plastik di hilir. Tapi, juga mengatur pengendalian volume produksi kantong plastik dari hulunya.
Di hilir, jajaran pemerintah provinsi dapat mewajibkan para pedagang/pelaku usaha menyediakan pilihan bagi konsumen. Yaitu, boleh pilih antara membeli kontang plastik atau kantong nonplastik yang ramah lingkungan.
Namun, harga kantong plastik wajib lebih mahal daripada kantong nonplastik yang ramah lingkungan. Lebih bijak lagi, untuk pembuatan kantong nonplastik ramah lingkungan, pemerintah memercayakan kepada para korban relokasi lokalisasi Kalijodo di Jakarta, Gang Dolly di Surabaya, dan lainnya.
Hak memilih bagi konsumen diatur dalam UUPK pasal 4 huruf b. Manakala para pelaku usaha ritel tidak menyediakan pilihan tersebut bagi konsumen, konsumen secara perorangan maupun berkelompok dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) dapat menggugat pelaku usaha ritel.
Pelanggaran tidak memberikan pilihan kepada konsumen dapat dikategorikan melanggar UUPK pasal 8 UUPK. Mekanisme hak gugat konsumen dan LPKSM diatur dalam UUPK pasal 46. Sanksi terhadap pelanggaran hak-hak normatif konsumen diatur dalam pasal 62 berupa sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
Karena itu, selain memberdayakan pengendalian penggunaan kantong plastik dengan memberdayakan pengawasan dari konsumen sendiri berdasar UUPK, pemerintah juga seharusnya melakukan kontrol dari hulunya. Yakni, melakukan penggendalian dan pembatasan volume produksi kantong plastik di pabrikan.
Namun, apakah pemerintah punya nyali melakukannya? Suatu persoalan yang sering menjadi pertanyaan publik. Apalagi, hasil penjualan kantong plastik dari pelaku usaha ritel akan memberikan pundi-pundi triliunan rupiah per tahun.
Jika demikian, rupanya, sampah plastik ke depan, bukannya semakin berkurang, tapi akan semakin menggunung di kota-kota besar! Pada gilirannya, kebijakan KLHK menjadi sia-sia.
Karena itu, selain konsumen memiliki hak gugat berdasar UUPK, masyarakat pada umumnya juga memiliki hak gugat judicial review terhadap kebijakan KLHK tentang kantong plastik berbayar itu manakala dinilai tidak ada nilai manfaatnya bagi kepentingan umum (publik). Dari situlah, mari kita melakukan koreksi.
Oleh M. Said Sutomo (Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur)
Opini JawaPos, 27/2/2016