Memaknai Perlindungan Konsumen di Hari Pahlawan

Oleh: Muhammad Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur

& Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Periode 2020-2023

 

Kerugian para konsumen jasa asuransi jiwa yang belakangan ini marak adalah salah satu contoh korban predator pelaku ekonomi konvensional di negeri kita yang dapat diduga dilakukan secara terstruktur, tersistem sehingga korbannya massif di era digital sekarang ini. Penyelesaiannya pun tidak kunjung tuntas yang memuaskan konsumannya. Serupa dengan kekecewaan konsumen korban perdagangan barang dan/atau jasa yang melakukan transaksi via online kemudian diviralkan belakangan ini karena tidak sesuai dengan pesanan sehingga muncul masalah baru dengan pelaku usaha jasa pengiriman barang yang seolah-olah peristiwa kerugian kasuistik tapi sebenarnya bersifat global.

Setidak-tidaknya ada dua bekal literasi sikap kritis “kepahlawanan” konsumen untuk melindungi diri sendiri, keluarganya dan masyarakat di lingkungannya dalam setiap mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pasar online maupun pasar konvensional sesuai dengan jargon: “TELITI SEBELUM MEMBELI, WASPADA SEBELUM TERPEDAYA! Sebelum konsumen menyesal di kemudian hari. Pertama sikap kritis pada saat pra-transaksi. Kedua bersikap kritis terhadap klausula baku eksonerasi. Sekalipun klausuka baku tersebut disebut sebagai smart contract, karena isinya boleh tentu benar-benar smart! Sikap kritis ini sama dengan sikap kemerdekaan kita untuk menanyakan jaminan barang dan/jasa yang dipasarkan sebelum dikonsumsi agar mendapatkan kepastian manfaatnya.

 

Kritis Kepahlawanan Pada Pra-Transaski.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik Pasal 22 ayat (1) menegaskan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatan penyelenggaraan Sistem Elektronik. Kewajiban pelaku usaha merekam jejak digital transaksi. Rekam jejak digital ini dapat digali oleh setiap konsumen sendiri dengan mengajukan pertanyaan kritis pada saat chating pra-transaksi.

Pertanyaan-pertanyaan disampaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (UUPerdagangan), Pasal 65 mengatur yang menegaskan bahwa setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar. 1. Identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi; 2. Persyaratan teknis Barang yang ditawarkan; 3. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan; 4. Harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan 5. Cara penyerahan Barang.  Data itu bisa diperoleh tergantung kekritisan konsumen untuk menggali informasi pada waktu pra-transaksi via online.

Pelaku usaha barang dan/atau jasa yang menjalankan bisnis e-commerce-nya tidak sesuai dengan data dan/atau informasi yang disampaikan kepada konsumennya, maka dapat diancam selain sanksi adminsistrasi izin usahanya dicabut juga dapat dikenai acamanan  sanksi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (Dua belas miliar rupiah). Ancaman sanksi ini diatur di Pasal 115 Juncto Pasal 65  UU Perdagangan. Namun sayangnya, sampai sekarang belum ada pelaku usaha barang dan/jasa e-commerce yang pernah dijerat dengan pasal tersebut oleh penegak hukum.

Kerugian konsumen dalam perdagangan konvensional maupun online yang marak belakangan ini umpamanya, membuktikan peranan pemerintah yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 Tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen kemudian dikenal dengan sebutan STRANAS PK tidak jalan, sehingga pesan-pesan normatif perlindungan konsumen belum menjadi budaya birokasi di kalangan pemerintah dan belum menjadi budaya berperilaku usaha di kalangan pelaku usaha barang dan/atau jasa nasional kita. Akibatnya, masyarakat konsumen hanya menjadi mangsa buruan predator ekonomi untuk mencari keuntungan semata dengan mengabaikan hak-hak normatif konsumen. Pada gilirannya muncullah ketidakpercayaan masyarakat konsumen terhadap e-commerce yang menawarkan produk barang/jasa secara online.

STRANAS PK ini mempunyai tiga strategi perlindungan konsumen. Strategi pertama adalah mengefektifkan peranan pemerintah dalam perlindungan konsumen. Strategi kedua adalah peningkatan keberdayaan konsumen terhadap hak-hak normatifnya.  Strategi ketiga adalah peningkatan kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban-kewajiban pelaku usaha dengan meninggalkan larangan-larangannya yang telah diundangkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Manakala peranan pemerintah dari pusat sampai daerah provinsi, kota dan kabupaten dalam pelaksanaan UUPK efektif, tingkat literasi konsumen terhadap hak-hak normatifnya sejak pra-transaksi, proses-transaksi, dan bahkan pada pasca transaksi memadahi, dan kepatuhan pelaku usaha terhadap UUPK memuaskan dan konsisten, maka volume pengaduan konsumen barang dan/atau jasa akan semakin mengecil, bukan sebaliknya semakin membesar.

 

Kritis Kepahlawanan Saat Transaksi

              Secara khusus UUPK mengatur larangan-larangan pelaku usaha dalam membuat/mencetak dan memperbanyak klausula baku (standart contract) dalam perjanjian maupun berupa struk pembayaran yang telah disiapkan secara online maupun offline antara para pihak yang bertentangan dengan UUPK. Untuk melindungi konsumen, maka UUPK melarang pelaku usaha membuat standart contract yang berisi klausula baku eksonerasi.

Klausula baku eksonerasi adalah klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha, pengurangan, pembatasan, penghapusan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha, serta penciptaan kewajiban atau tanggungjawab yang dibebankan kepada konsumen secara sepihak. Karena umumnya pelaku usaha berada di pihak yang lebih kuat kedudukannya dibanding konsumennya. Posisi lemah konsumen ini seringkali disalahgunakan (misbruik van omstandigheden) oleh pelaku usaha.

Dalam konteks transaksi, seringkali merugikan pihak yang lemah dan menguntungkan pihak yang membuatnya, yaitu pihak yang lebih kuat. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar menawar yang lemah karena butuh, dan karenanya mudah menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi lebih kuat.

Konsumen hanya dihadapkan dua pilihan. Jika konsumen membutuhkan barang dan/jasa yang ditawarkan, maka setujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang dibuat oleh pelaku usaha. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat baku yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, maka konsumen dipersilakan jangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bersangkutan.

Meskipun UUPK telah mengatur larangan pencantuman klausula baku eksonerasi, namun masih banyak pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku eksonerasi dalam perjanjian baku secara online maupun offline. Padahal pelanggaran itu diancam oleh UUPK bukan hanya sanksi administrasi izin usaha dicabut tapi juga diancam pidana kurungan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling tinggi Rp. 2 milyar.

Karena apa? Karena keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menjadi tanggungjawab Pemerintahan Provinsi pasca Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang berwenang mengawasi klausula baku (Pasal 52 huruf e UUPK) selama ini belum efektif melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap setiap dokumen perjanjian yang disiapkan oleh pelaku usaha sebelum ditandatangi oleh kedua belah pihak, yaitu konsumen dan pelaku usaha pada saat pra-transaski maupun saat proses-transasaksi.

Keberadaan BPSK di wilayah Pemerintahan Provinsi sebagai pengawas klausula baku dalam pelaksanaan UUPK Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4) masih belum mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Pusat maupun Provinsi. Padahal pelaksanaan UUPK adalah pengejawantahan amanah Pembukaan UUD 1945 sebagaimana kita baca setiap hari Senin dalam upacara menghormati bendera Merah Putih: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan …”

Manakala kemerdekaan kita tidak berhenti di depan “pintu gerbang kemerdekaan”, maka kerugian konsumen yang baru disadari pada pasca-transaksi akibat “jebakan Batman” pelaku usaha barang dan/atau jasa dapat dihindari. Jangan sampai meningkatnya jumlah pengaduan konsumen dijadikan sebagai indikator keberdayaan konsumen bukan sebagai indikator tingkat ketidakpatuhan pelaku usaha terhadap pelaksanaan UUPK masih sangat rendah dan efektifitas peran pemerintah dalam mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen dirasa belum hadir di tengah-tengah masyarakat konsumen!

 

Surabaya, 11 November 2021.