Permenhub 25/2020 Bertentangan UU Perlindungan Konsumen


Oleh: J. Widijantoro

Dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 dan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang transportasi, pemerintah mengeluarkan Permenhub No. 25 Tahun 2020 Tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 H Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 (selanjutnya disebut Permenhub 25/2020). Permenhub ini berlaku baik untuk transportasi darat, perkeretaapian, laut, dan udara dan berlaku mulai 24 April 2020 sampai dengan 30 Mei 2020 dan masih mungkin diperpanjang (lihat Pasal 1 ayat (2) dan (3) Permenhub 25/2020).

Untuk transportasi darat, Pasal 4 Permenhub 25/2020 menentukan bahwa Penyelenggara sarana transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh atau 100% (seratus persen) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket.

Sedangkan untuk transportasi kereta api, Pasal 9 ayat (3) Permenhub 25/2020 menentukan bahwa Penyelenggara sarana transportasi perkeretaapian wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh atau 100% (seratus persen) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket untuk perjalanan kereta api antarkota yang dibatalkan.

Sementara untuk moda tranportasi laut, Pasal 16 Permenhub 25/2020 menentukan bahwa Badan usaha transportasi laut wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh atau 100% (seratus persen) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket. Opsi pengembalian biaya tiket ditegaskan lagi Pada Pasal 17 ayat (1) huruf a, yang menentukan bahwa konsumen dapat memperoleh pengembalian biaya tiket 100% secara tunai.

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk transportasi udara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 yang mengatur Badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh atau 100% (seratus persen) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket.

Sampai disitu, Permenhub 25/2020 di atas terkesan sudah sejalan dengan hak konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun ternyata, Permenhub 25/2020 terbukti melanggar UUPK khususnya pada bagian pengaturan tentang transportasi udara. Apabila untuk transportasi darat, kereta api dan transportasi laut penyelenggara jasa transportasi wajib mengembalikan uang konsumen yang sudah membeli
tiket sebesar 100%, hal itu tidak berlaku untuk transportasi udara.

Ternyata ketentuan pasal 23 Permenhub 25/2020 direduksi dan dikaburkan dengan ketentuan Pasal 24 Permenhub 25/2020 yang menentukan bahwa Badan usaha angkutan udara dalam mengembalikan biaya tiket angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. melakukan penjadwalan ulang (re-schedule) bagi calon penumpang yang telah
memiliki tiket dengan tanpa dikenakan biaya;

b. melakukan perubahan rute penerbangan (re-route) bagi calon penumpang yang telah
memiliki tiket tanpa dikenakan biaya dalam hal rute pada tiket tidak bertujuan keluar
dan/atau masuk wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;

c. mengkompensasikan besaran nilai biaya jasa angkutan udara menjadi perolehan poin
dalam keanggotaan badan usaha angkutan udara yang dapat digunakan untuk membeli
produk yang ditawarkan oleh badan usaha angkutan udara; atau

d. memberikan kupon tiket (voucher ticket) sebesar nilai biaya jasa angkutan udara
(tiket) yang dibeli oleh penumpang dapat digunakan untuk membeli kembali tiket
untuk penerbangan lainnya dan berlaku paling singkat 1 (satu) tahun serta dapat
diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali.

Tampak sekali ada perlakuan diskriminatif terhadap konsumen pengguna angkutan udara. Hal ini jelas melanggar hak konsumen yang tertuang dalam Pasal 4 huruf g UUPK, yakni hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Selain itu, makna pengembalian biaya tiket 100% pada Pasal 23 Permenhub 25/2020 ini terkesan direduksi dan hanya dibatasi dengan “re-schedule”, “re-route”, “perolehan poin keanggotaan”, dan “voucher tiket”. Jelas bahwa hak konsumen untuk mendapatkan pengembalian biaya tiket dalam arti yang sesungguhnya (re-fund) ditutup/diabaikan oleh Permenhub ini. Pengecualian perlakuan terhadap konsumen pengguna transportasi udara
(dibandingkan dengan konsumen pengguna transportasi darat, kereta api, dan laut) tidak berdasar dan cenderung hanya menguntungkan penyelenggara transportasi udara saja.

Meskipun pada Pasal 24 ayat (2) diatur bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kesepakatan antara badan usaha angkutan udara dengan calon penumpang, dapat dipastikan badan usaha angkutan udara tidak akan memberi opsi lain selain apa yang sudah tertuang dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) tersebut.

Hal ini sudah tampak pada kebijakan maskapai plat merah “Garuda Indonesia” yang hanya memberi opsi konsumennya dengan reschedule, re-route, dan travel voucher. Re-fund dalam “bahasa” Garuda Indonesia dimaknai dengan penukaran tiket dengan travel voucher. Jelas bahwa konsumen yang tidak memilih opsi tersebut tertutup haknya untuk memperoleh pengembalian biaya tiket sebagaimana diterapkan pada transportasi darat, kereta api, dan laut.

Konsumen transportasi udara seperti dipaksa harus tetap menggunakan tiketnya (meskipun diberi kebebasan jadwal terbangnya).

Oleh karena itu, Peraturan Menteri Perhubungan ini jelas sekali membatasi pilihan konsumen dan bersifat diskriminatif, Permenhub 25/2020 ini juga bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2)UUPK yang menjamin konsumen memperoleh pemberian ganti rugi berupa pengembalian uang.

Maka sebagaimana mestinya Permenhub tidak boleh bertentangan dengan UU (yang memungkinkan untuk diuji secara materiil di Mahkamah Agung), tidak semestinya badan usaha transportasi udara “terbebas” dari kewajiban yang diatur dalam UUPK. Semestinya hak konsumen tetap harus dipenuhi dan dihormati dengan memberikan opsi pengembalian uang (re-fund dalam arti yang sesungguhnya). Konsumen pengguna transportasi udara tetap harus
dipenuhi haknya jika ia hendak meminta pengembalian uang dan tidak memilih opsi yang ditawarkan oleh penyedia/badan usaha transportasi udara.

Niat baik untuk membuat kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 tidak seharusnya mengabaikan atau mencabut hak-hak dasar konsumen (yang diatur dalam UUPK). Apalagi yang mencabutnya peraturan setingkat Permenhub, jelas melanggar prinsip dasar sistem perundang-undangan di Indonesia.

Bantul, 26-04-2020
J.Widijantoro
Dosen Hukum Perlindungan Konsumen di FH-UAJY
Ketua Dewan Pengawas Lembaga Konsumen Yogyakarta