Otoritas penerbangan sipil Tanah Air resmi menetapkan beban yang harus ditanggung maskapai terkait hak penumpang yang meninggal akibat kecelakaan pesawat udara komersial. Nantinya, korban kecelakaan pesawat bakal mendapatkan tanggungan (santunan) sebesar Rp 1, 25 miliar.
Selain itu, pemerintah juga mewajibkan maskapai penerbangan memberikan jaminan asuransi bagi bagasi yang hilang dan keterlambatan penerbangan. Semua kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang telah diteken Menteri Perhubungan, Freddy Numberi pada 8 Agustus lalu.
Aturan ini akan diberlakukan selambat-lambatnya tiga bulan setelah ditandatangani menteri. “Ketentuan ini tentu harus disosialisasikan dulu kepada operator dan pihak terkait,” kata Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, Edward Alexander Silooy di Jakarta, Selasa (23/8).
Disebutkan dalam Permenhub tersebut, maskapai bertanggungjawab atas kerugian terhadap enam hal pokok. Antara lain, penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap dan luka-luka.
Kedua, hilang atau rusaknya bagasi kabin. Ketiga, hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat. Keempat, hilang, musnah, atau rusaknya kargo. Kelima, keterlambatan angkutan udara, dan keenam, kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Soal tanggung jawab atas keterlambatan pesawat atau delay, dalam Pasal 10 disebutkan, bahwa keterlambatan lebih dari empat jam harus diberikan ganti rugi Rp 300.000 per penumpang. Sedangkan jumlah ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat yang diatur dalam Pasal 5, diganti Rp 200.000 per kilogram dan paling banyak Rp 4 juta per penumpang.
Menurut Silooy, santunan korban meninggal dan cacat tetap akibat kecelakaan pesawat udara ini sesuai dengan Konvensi Montreal 1999, di mana maskapai wajib memberikan santunan minimal sebesar 100.000 dollar AS. “Kita sebenarnya sudah ketinggalan dengan negara-negara lainnya, Singapore Airlines sudah menerapkan besaran 100.000 dollar AS sejak tahun 2000, mereka sudah meratifikasi,” jelasnya.
Dengan besarnya santunan tersebut, diharapkan apabila ada keluarga yang ditinggal mati oleh penumpang, bisa mendapatkan santunan yang layak untuk menjamin kehidupannya pada masa mendatang.
Di sisi lain, dengan adanya kewajiban tersebut, maka maskapai akan menambah asuransinya. Seperti diketahui, selama ini asuransi yang wajib adalah Jasa Raharja, di mana besaran santunannya hanya sebesar Rp 50 juta.
Sedangkan asuransi hull (badan pesawat) dan risk yang biasanya juga dilakukan maskapai dengan asuransi asing, masih tergantung maskapai. “Ada yang hanya Rp 500 juta, ada juga yang kurang. Jadi nantinya harus Rp 1,25 miliar,” tandasnya.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier Association (Inaca) Tengku Burhanuddin meminta agar Permenhub ini diberlakukan enam bulan setelah sosialisasi. “Kami minta aturan ini diberlakukan minimal enam bulan setelah sosialisasi. Ini untuk mempersiapkan maskapai bernegosiasi dengan perusahaan asuransi,” kata Tengku di Jakarta, Selasa (23/8).
Untuk asuransi delay, Tengku menyebut ini merupakan satu-satunya di dunia. “Di tempat lain tidak ada, hanya di Indonesia. Tetapi kenapa semuanya harus diganti dengan uang. Toh ada kewajiban maskapai misalnya harus memberi makanan dan penginapan,” jelas Tengku.
Sementara, untuk bagasi juga tidak seharusnya diwajibkan, karena nilai bawaan penumpang sangat bervariasi. “Sebaiknya tidak perlu diwajibkan untuk asuransi, cukup pilihan saja bagi penumpang. Jadi misalnya ada yang membawa emas atau barang berharga bisa mengasuransikannya sendiri,” jelasnya.
Direktur Niaga Sriwijaya Air, Toto Nursatyo menyambut baik aturan tersebut. Menurutnya untuk ganti rugi barang dan delay, pihaknya telah mengasuransikan, meski secara opsional dari penumpang. “Kalau wajib, tinggal dijual bersama dengan tiket,” ujarnya.
Sementara untuk tanggungjawab korban nyawa, saat ini Sriwijaya Air telah mereasuransikan bersama pesawatnya itu sendiri.
Senada, Marketing and Sales Manager Garuda Indonesia, Anthony Zulkarnain menyambut baik pengesahan Permenhub ini. “Untuk maskapai Garuda Indonesia, kompensasi delay dan bagasi terlambat atau hilang itu sudah ada. Buktinya tingkat on-time performance (OTP) kami mencapai 90 persen. Penumpang tidak ditarik biaya lagi karena harga tiket sudah meliputi semuanya,” yakinnya.
Hingga saat ini, kata Anthony, Garuda belum ada rencana menggandeng asuransi penerbangan di luar iuran wajib Jasa Raharja. “Belum ada rencana kerjasama dengan asuransi swasta, mungkin regulasi itu akan lebih pas untuk maskapai-maskapai dengan tingkat OTP yang rendah,” sambungnya.
Sumber : Surya