Pungut Tarif Rapit Test di Atas Rp 150 Ribu, RS-Klinik Bisa Dipidana

Belakangan ini publik mengeluhkan tarif mahal rapid test di rumah sakit (RS) dan klinik kesehatan. Padahal, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI telah mengeluarkan aturan harga tertinggi tes virus corona itu sebesar Rp 150 ribu. Jika warga dikenakan tarif di atas ketentuan itu, maka rumah sakit atau klinik bersangkutan bisa dipidana.

“Kalau SE Kemenkes RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang batasan tarif rapid test dilanggar oleh lembaga kesehatan atau rumah sakit maupun pemerintah, maka bisa dikatakan melanggar UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 ayat (1) huruf a jo Pasal 62 ayat (1). Maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana,” kata Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim, Said Sutomo kepada Harian Merah Putih, Senin (20/7/2020).

Seperti diberitakan, dalam Surat Edaran (SE) Kemenkes RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi ditetapkan biaya rapid test tertinggi Rp 150 ribu. Namun tarif rapid test di sejumlah RS di Surabaya masih mahal. Harga yang dipatok oleh rumah sakit yang melayani rapid test di kisaran Rp 325.000 – Rp 550.000. Bahkan ada yang di kisaran Rp 1 juta.

Hal itu diketahui dari bukti kuitansi yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit PHC Surabaya pada 13 Juli 2020. Terdapat kuitansi tertulis harga Rp 175 ribu dan Rp 325 ribu untuk biaya rapid test di rumah sakit milik Pelindo III itu. Begitu juga di RS swasta lainnya.

Menurut Said, hal itu sangat membebani masyarakat. Sebab rapid test banyak dibutuhkan masyarakat untuk bepergian. Terutama bagi mereka yang memanfaatkan moda transportasi, baik darat, udara maupun laut. “SE Kemenkes tersebut sebenarnya untuk memberikan kepastian hukum tentang standar harga pelayanan jasa rapid test yang disediakan oleh lembaga penyedia jasa kesehatan,” jelasnya.

Said juga mengingatkan RS atau klinik kesehatan yang melanggar ketentuan tersebut bisa terancam kurungan penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Karena itulah, pihaknya membuka pengaduan. Setiap konsumen rapid test yang dikenakan tarif di atas Rp150 ribu setelah terbit SE tersebut, bisa mengadukan ke YLPK. Tentu konsumen harus menyertakan bukti pembayaran dan bukti hasil rapid testnya.

“Silakan masyarakat yang jadi korban tarif rapid test di atas ketentuan Kemenkes untuk mengadu ke kami dengan melampirkan bukti-bukti pembayaran,” tandas Said.

Said juga menyoroti keberatan dari Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jatim yang mendukung SE Kemenkes asal dicarikan alat rapid test yang harganya di bawah Rp150 ribu. “Jika Persi keberatan maka kami berhak menanyakan, siapa pengusaha yang bergerak di bidang pengadaan rapid test itu? Berapa harga satuannya? Produk impor atau lokal alat rapid test itu. Kalau impor dari negara mana, dan produk lokal pabriknya apa dan dimana. Harus jelas semuanya karena, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah dalam UU Perlindungan Konsumen adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur,” tutur Said.

Untuk diketahui, ada dua jenis alat tes virus corona (Covid-19) yang digunakan di Indonesia, yaitu tes swab (PCR) dan rapid test. Tes swab digunakan untuk mengetahui apakah positif infeksi virus corona atau tidak. Sedang rapid test digunakan untuk mengetahui antibodi yang terbentuk di tubuh saat terinfeksi virus.

Namun, hasil rapid test tidak bisa menjadi patokan diagnosis Covid-19. Jika hasil reaktif, dibutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan tes swab untuk mengetahui hasilnya. Belakangan, penggunaan rapid test itu pun menuai polemik. Salah satunya karena tarif yang bervariasi. Padahal, alat rapid test impor disebut-sebut hanya sekitar USD 3-5 atau sekitar Rp 45-60 ribu.

Bendahara Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) Cristina Sandjaja mengatakan, saat ini rentang harga alat rapid test yang dijual ke rumah sakit atau klinik bervariasi. Bahkan, terdapat alat rapid test yang dijual seharga Rp 500.000. “Macam-macam (harga jual alat rapid test). Harga produknya aja bervariasi, ada yang Rp 180.000 sampai kisaran Rp 500.000,” ungkapnya seperti dikutip Kompas.com.

Hal tersebut kemudian menjadi salah satu alasan rumah sakit atau klinik masih menyediakan fasilitas rapid test seharga di atas Rp 150.000. “Atau bisa juga karena marjin laba RS tersebut masih tebal,” katanya.

Kendati demikian, saat ini pihaknya, yakni PT Prodia Diagnostic Line, sudah mampu memproduksi alat rapid test buatan dalam negeri, RI-GHA Covid-19. Dimana alat rapid test yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tersebut, dibanderol seharga Rp 75.000. “Ini adalah harga jual yang ditetapkan BPPT untuk Hepatika dan Proline, baik ke klinik, RS, dan lain-lain,” jelas dia.

Sumber : Harian Merah Putih