Surabaya – Kesehatan, tampaknya, bakal makin berat. Per 1 April, tarif rumah sakit di Jatim meningkat. Kenaikan tarif itu berlaku di lima rumah sakit milik pemprov, yakni RSUD dr Soedono Madiun, RSU dr Syaiful Anwar Malang, RSU Haji Surabaya, RSJ Menur Surabaya, dan RSUD dr Soetomo Surabaya.
Kenaikan tarif hanya akan dikenakan kepada pasien kelas III atau pasien miskin. Aturan tersebut berpijak pada rapergub yang akan disahkan pada Maret. Dalam rapergub itu, disebutkan bahwa retribusi rumah sakit pemprov untuk pasien kelas III diatur oleh gubernur. Adapun penentuan retribusi untuk pasien kelas I, II, dan utama sepenuhnya menjadi wewenang rumah sakit.
Kendati demikian, pihak rumah sakit menjamin bahwa kenaikan itu tidak akan mencekik pasien yang benar-benar miskin. Sebab, biaya pengobatan untuk pasien miskin yang memegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, serta pemegang surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang sudah dilegalisasi akan ditanggung oleh pemerintah.
“Yang menanggung kenaikan itu ya mereka yang sebenarnya tidak miskin, tapi mengambil fasilitas pasien kelas III. Yang miskin tetap diurusi pemerintah, yang kaya bayar untuk diri sendiri,” kata Direktur RSUD dr Soetomo Dr dr Slamet Riyadi Yuwono DTMH MARS setelah sosialisasi penyesuaian tarif di lima rumah sakit provinsi kemarin (24/2). Sosialisasi yang diikuti wakil lima rumah sakit pemprov, LSM, dan komunitas dari Madiun, Malang, dan Surabaya itu diadakan di ruang pertemuan Loka Widya Husada RSUD dr Soetomo.
Peningkatan biaya berobat itu dilakukan karena tarif yang berlaku saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan unit cost atau biaya penyelenggaraan pengobatan. Tarif tersebut sebelumnya selalu mengikuti Perda No 10/2002. Beberapa rumah sakit sebelumnya dikabarkan sudah mengajukan kenaikan biaya itu kepada pemprov.
“Kalau mengikuti perda, ya defisit terus,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Jatim dr Pawik Supriadi SpJP (K) di sela-sela sosialisasi. Besarnya kenaikan tarif di setiap rumah sakit berbeda-beda. Kenaikan itu bergantung pada kelas rumah sakit dan unit cost.
Di RSU dr Syaiful Anwar Malang, misalnya. Biaya rawat jalan yang tadinya sebesar Rp 2 ribu akan naik menjadi Rp 4 ribu. Kunjungan instalasi rawat darurat yang biasanya hanya makan biaya Rp 10 ribu akan naik menjadi Rp 20 ribu. Sedangkan untuk layanan laboratorium, tarif rata-rata naik sekitar 20 persen.
Adapun di RSUD dr Soetomo, tarif layanan untuk pasien kelas III rata-rata naik 70 persen. Untuk layanan nonoperatif, kenaikan rata-rata 40 persen. Namun, ada pula yang tarifnya naik hingga 106 persen. Misalnya, untuk tindakan operasi yang rata-rata butuh biaya Rp 2,1 juta. Per 1 April nanti, untuk operasi, pasien kelas III harus merogoh kocek sekitar Rp 4,4 juta.
Meskipun tarif baru yang dipasang cukup tinggi, pihak RSUD dr Soetomo menyatakan bahwa kenaikan itu sudah sedapat-dapatnya direm. “Kalau inflasi setiap tahun 7-8 persen, seharusnya sudah naik 80 persen,” kata dr Slamet.
Di samping karena tingginya unit cost, peningkatan tarif rumah sakit tersebut juga bermuara pada status badan layanan umum daerah (BLUD) yang kini disandang oleh lima rumah sakit milik pemprov. Dengan status tersebut, berarti rumah sakit harus berupaya sendiri untuk menutup biaya operasional.
Selain itu, rumah sakit penyandang status BLUD harus menjaga kualitas mutu dan akses yang lebih luas. Masyarakat harus lebih mudah berobat. “Orang miskin juga harus mendapatkan pelayanan yang sama. Itulah yang mendasari tarifnya disesuaikan,” ungkap dr Slamet.
Nanti kenaikan tarif juga dikenakan untuk pasien kelas I, II, dan utama. Besarnya kenaikan tarif untuk pasien tersebut, tampaknya, bakal lebih tinggi. Sebab, selain unit cost, pasien-pasien tersebut akan menanggung biaya operasional rumah sakit seperti biaya listrik, maintenance alat, dan investasi untuk pembelian alat-alat kedokteran.
Itu dilakukan karena dengan status BLUD yang disandang rumah sakit, pasien kelas I, II, dan utama tidak lagi akan mendapatkan subsidi dari pemerintah. Kenaikan tarif untuk pasien tersebut diperkirakan berlaku mulai Mei.
Meskipun terjadi kenaikan tarif besar-besaran, dr Slamet menjamin bahwa biaya pengobatan di RS milik pemerintah tidak akan lebih mahal daripada RS swasta. Kenaikan tersebut juga diharapkan mampu mengatasi overload pasien yang saat ini banyak terjadi di RS milik pemprov. “Kalau penyakitnya tidak parah, biar berobat ke puskesmas atau rumah sakit pemkot saja. Kalau parah, baru dibawa ke sini,” lanjutnya.
Sumber : Jawapos