Merayakan Idul Fitri, bagi sebagian orang kurang afdol jika tak disertai dengan prosesi mudik ke kampung halaman. Ibarat sayur tanpa garam, begitu kira-kira. Betapa asyiknya bisa pulang ke kampung halaman; bertemu handai taulan, sanak saudara, dan rekan-rekan sejawat. Tak peduli kendati harus berjibaku dengan kemacetan dalam berkendara mobil pribadi, atau bahkan sepeda motor sekalipun. Di prediksi tahun 2017 ini, jumlah pemudik akan tetap tinggi.
Namun, dibalik gegap gempita mudik Lebaran, sejatinya terdapat hal yang sangat gawat. Apalagi kalau bukan masih tingginya kecelakaan lalu-lintas (laka lantas), yang merenggut korban masal, meninggal dunia. Menurut data yang di lansir dari Korlantas Mabes Polri, hasil Operasi Ramadhaniya 2016 menemukan 2168 kali kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 444 jiwa. Memang jika dibandingkan dengan kasus kecelakaan saat mudik 2015 terdapat penurunan 21,90 persen. Jumlah kecelakaan mudik tahun 2015 sebanyak 2776 kali dengan korban meninggal dunia sebanyak 590 orang.
Tapi apalah arti angka penurunan itu, sebab dalam konteks managemen transportasi, prinsipnya harus zero accident! Dengan demikian, masih tingginya laka lantas dengan korban meninggal dunia dan atau luka berat, adalah sebuah tragedi dan atau bencana nasional! Tetapi, ironisnya, terkait tingginya korban meninggal saat mudik Lebaran, nampaknya tak ada respon signifikan dari pemerintah. Padahal, korban laka lantas terus bertumbangan setiap prosesi mudik Lebaran.
Terhadap tragedi mudik Lebaran, idealnya pemerintah – Kementrian Perhubungan, Polri dan bahkan pemerintah daerah perlu melakukan langkah-langkah konkrit, seperti; pertama, memperbanyak akses angkutan umum, khususnya angkutan umum di darat, dan khususnya lagi sektor perkeretaapian. Maraknya penggunaan kendaraan pribadi, apalagi sepeda motor, dikarenakan minimnya akses angkutan umum. Kedua, menekan penggunaan sepeda motor sebagai sarana transportasi mudik. Sepeda motor bukanlah sarana transportasi untuk perjalanan jarak jauh. Nyaris tidak ada di negara lain yang menjadikan sepeda motor sebagai moda transportasi jarak jauh masal. Data menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen korban laka lantas, baik saat mudik dan atau laka lantas reguler, adalah melibatkan pengguna sepeda motor.
Ketiga, pemerintah daerah juga harus bertanggungjawab untuk memperbaiki transportasi publik di daerahnya. Ingat, salah satu alasan pemudik menggunakan kendaraan pribadi, karena mereka memerlukan sarana transportasi untuk mobilitas di daerah tujuannya. Keempat, mendesak untuk meningkatkan angka santuan bagi keluarga korban, khususnya korban meninggal dunia dan atau luka berat (cacat tetap). Saat ini angka santunan bagi korban meninggal dan atau luka berat, adalah hanya Rp 25 juta per orang. Ini sebuah angka yang tidak mempunyai nilai ekonomi yang berarti dan bahkan tidak manusiawi. Bandingkan dengan santunan serupa di Malaysia yang mencapai Rp 3,1 miliar per kepala. Tingginya santunan menjadi sangat mendesak, karena mayoritas korban laka lantas, ahli waris yang ditinggalkan mengalami jatuh miskin.
Kelima, masyarakat juga harus mawas diri, sekali lagi, bagi pengguna sepeda motor. Kalaupun terpaksa menggunakan sepeda motor, janganlah dengan kapasitas yang melebihi batas. Sudah sepeda motor tak layak untuk perjalanan jarak jauh, ini masih ditambah dengan beban yang over kapasitas. Dan keenam, industri sepeda motor patut dimintai pertanggungjawaban akibat tingginya korban yang melibatkan pengguna sepeda motor. Ini menandakan bahwa industri sepeda motor tidak pernah memberikan edukasi safety riding pada penggunanya.
Kesimpulan
Boleh jadi mudik Lebaran merupakan bentuk perwujudan hak asasi bagi warga negara (HAM). Ini jika dimaknai bahwa mudik adalah bagian untuk menjalankan ritual keagamaan bagi pemeluknya. Jika mudik sebagai HAM, adalah tanggungjawab negara untuk mewujudkan HAM dimaksud. Untuk mewujudkan hal itu, yang paling mendesak adalah merenovasi akses transportasi umum, khususnya sarana transportasi masal.
Pergerakan jutaan manusia dalam waktu yang sama, bukanlah tipikal Indonesia saja. Di Amerika, Eropa bahkan China terdapat pergerakan serupa. Namun di negara-negara tersebut, tidak dibarengi dengan korban masal. Tingginya korban masal pada hampitr setiap prosesi Lebaran, disebabkan gagalnya pemerintah menyediakan akses transportasi publik (masal) bagi pemudik. Pada titik tertentu, jika memang pemerintah belum mampu mewujudkan sarana transportasi umum masal yang manusiawi dan terintegrasi untuk mudik Lebaran, maka “Darurat Mudik Lebaran” patut dicanangkan. Ini untuk mengingatkan semua pihak, termasuk masyarakat, bahwa mudik Lebaran adalah prosesi yang high riks (risiko tinggi) bagi pemudik. Apalagi jika moda transportasi yang digunakan tidak memenuhi syarat keselamatan.
Selamat mudik dan utamakan keselamatan ***
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Source: YLKI