YLPK Jatim: Stella Monica Tidak Bisa Disebut Mantan Konsumen

Muhammad Said Sutomo Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur di kantor YLPK Jatim, Surabaya, pada Kamis (12/3/2020). Foto: Baskoro suarasurabaya.net

“Alasannya apa (Stella Monica) tidak bisa disebut sebagai konsumen?” tanya Muhammad Said Sutomo Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur, kepada suarasurabaya.net, Senin (1/10/2021).

Said Sutomo mempertanyaan dan mengatakan itu merespons penyebutan Stella Monica sebagai “mantan konsumen”, baik di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian maupun saat persidangan berlangsung.

Habibus Salihin Kuasa Hukum Stella dari LBH Surabaya menemukan penyebutan itu, muncul di dalam BAP yang terus dibawa sampai ke meja hijau, bahkan disebutkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Said Sutomo sebagai Ketua YLPK Jatim merespons keras perlakuan penyidik maupun JPU di Pengadilan Negeri Surabaya terhadap Stella. “Enggak benar itu, enggak berdasarkan hukum!” Ujarnya.

“JPU tidak belajar tentang Undang-Undang Konsumen. JPU itu hanya menghindari untuk menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” katanya.

Baru-baru ini YLPK Jatim mengirimkan legal opinion (pendapat hukum) tentang kriminalisasi Stella Monica sebagai konsumen klinik kecantikan kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya.

Salah satu isi dari pendapat hukum itu, memastikan bahwa Stella Monica masih memiliki hubungan hukum dengan L’Viors Beauty Clinic sebagai konsumen, sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

“Di pasal 27 huruf e itu disebutkan, ikatan konsumen itu sampai batas waktu empat tahun. Itu untuk barang. Bagaimana dengan jasa? Karena tidak disebutkan, justru enggak ada batas waktunya,” ujarnya.

Sebagai konsumen, Stella Monica punya hak menyampaikan pendapat dan keluhan atas barang dan jasa kecantikan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Hal itu termuat dalam poin pertama kesimpulan pendapat hukum YLPK Jatim. Selanjutnya, YLPK juga menyimpulkan, pendapat dan keluhan Stella Monica bukan niat untuk melakukan kejahatan (mens rea).

Keluhan itu, menurut Said, tidak termasuk tindak pidana yang termuat dalam pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

YLPK juga berpendapat, keluhan Stella itu juga tidak termasuk elemen eksternal atau objek kejahatan (aktus reus) dalam tindak pidana di dalam pasal yang sama di Undang-Undang ITE.

“Demi keadilan, kami berharap Stella Monica dibebaskan atas tuduhan apa pun. Karena Stella berhak mendapat perlindungan dengan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen,” ujarnya.

Tidak hanya punya hak didengar pendapat dan keluhannya, sebagai konsumen Stella punya hak untuk mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, dalam hal ini diberikan oleh L’Viors Beauty Clinic.

“Nah Stella ini terbukti dia tidak aman, tidak nyaman, dan tidak selamat wajahnya. Justru harusnya penyidik itu meneliti SOP kliniknya. Sesuai standar atau enggak?” Ujar Said Sutomo.

Dia analogikan seperti seseorang yang naik bus, tiba-tiba bus itu mengalami kecelakaan. Penyidik kepolisian seharusnya menyelidiki seputar penyebab kecelakaan tersebut.

“Apakah remnya blong? Apakah pengemudinya itu punya SIM? Apakah pengemudinya terpengaruh obat-obatan dan sebagainya. Uji KIR bagaimana? kalau itu lengkap bagaimana bannya. Kan begitu?”

Stella, kata Said, adalah seorang konsumen yang menjadi korban. Kalau sudah ada korban, seharusnya ada penyelidikan tentang standarisasi klinik tempat Stella menggunakan jasa perawatan kecantikan.

“Dari sisi sertifikasinya, apakah sudah sesuai ketentuan? Dari sisi keahlian apa sudah memadai? Pengalamannya bagaimana, kan begitu? Enggak moro-moro (tiba-tiba) ditetapkan tersangka. Kami menyesalkan ini. Semakin memperburuk citra polisi, begini ini,” ujarnya.

Sumber : Suara Surabaya