Selama ini pemerintah Provinsi Jawa Timur mengklaim bahwa jumlah angka kemiskinan di Jawa timur (Jatiim) menurun. Indikasi itu dikaitkan dengan peningkatan ekonomi di Jatim selama 2012 yang meningkat pesat dengan pertumbuhan mencapai 7,2 persen atau di atas rata-rata nasional 6,4 persen. Dari peningkatan pertumbuhan ekonomi itu diasumsikan berpengaruh terhadap penurunan jumlah angka kemiskinan di Jatim.
Tapi hal itu sangat paradox dengan TEMPO.CO, Jakarta, 3/1/2014 yang merilis berita: Orang Miskin Jawa Timur Terbanyak di Indonesia. Rilis berita online itu berdasarkan ekspose Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia.
Laporan terbaru BPS itu yang berdasarkan pada hasil survei sosial ekonomi nasional pada September 2013 menyebutkan jumlah penduduk miskin Jawa Timur mencapai angka 4,86 juta. Sebanyak 1,62 juta dari angka itu merupakan penduduk miskin perkotaan, sisanya penduduk di pedesaan.
Sepanjang 2013,? jumlah seluruh penduduk miskin di Indonesia bertambah menjadi 28,55 juta orang. Bila dibandingkan dengan data pada Maret lalu, jumlah penduduk miskin telah bertambah sebanyak 0,49 juta orang. Pulau Jawa masih menjadi penyumbang penduduk miskin terbesar, dengan jumlah sekitar 15,55 juta orang. Setelah Jawa Timur, peringkat kedua dan ketiga jumlah penduduk miskin terbanyak ada di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dalam rilis itu BPS mengaku bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan inflasi yang cukup tinggi sebesar 0,52 pada Juni 2013. Tingginya angka inflasi tersebut ditenggarai disebabkan oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Selain hal itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2013 yang naik menjadi 6,25 persen dan harga komoditas yang mengalami peningkatan seperti beras, daging, ayam, telur ayam ras dan cabai merah, juga menjadi penyebab jumlah penduduk miskin terus bertambah.
Dalam pengukuran angka kemiskinan tersebut, BPS menggunakan pendekatan perhitungan Garis Kemiskinan yang terdiri dari dua komponen, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan, sedangkan GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Menurut BPS selama periode survei tersebut, Garis Kemiskinan telah dinaikkan sebesar 7,85 persen atau Rp 21.325, menjadi Rp 292.951. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita di bawah angka tersebut, secara otomatis masuk dalam kategori penduduk miskin. Dari uraian data BPS itu kita baru menyadari bahwa ketahanan ekonomi rakyat Jatim sangat rentan terhadap gejolak harga barang/jasa.
Hal ini menandakan bahwa komunikasi publik di Jatim selama ini telah terjadi anomali. Betapa tidak, Gubernur Jatim, Soekarwo atau Pekde, di hadapan peserta Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jatim di awal Tahun 2013 di Hotel Bumi Surabaya yang dihadiri Menteri Koperasi dan UKM RI, Syarif Hasan, dalam sambutannya Pakde menyatakan bahwa hingga saat ini angka perputaran uang di Jawa Timur sudah mencapai Rp 244 triliun, sudah surplus Rp 49 triliun dari capital inflow yang masuk di kantong masyarakat.
Karena itu, lanjut Pakde, jangan heran kalau di Jatim banyak sekali muncul orang kaya baru. Yang paling gampang untuk melihat fenomena ini kata Pakde adalah kemacetan jalan raya yang makin sering terjadi. Betapa pemilik mobil makin banyak,? sepeda motor juga semakin membludak. Jadi,
menurut Pakde, bukan jalan rayanya yang menyempit melainkan pergerakan pertumbuhan kendaraan bermotor yang makin tak bisa dikendalikan.
Begitu juga ketika dalam sarasehan ?Menuju Jatim Lebih Baik? yang digelar PWI Jatim, Kamis, 7 Maret? 2013, Pakde memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2013 bisa menembus angka 7,5 persen. Hal ini didasarkan pada seiring dengan terus membaiknya iklim investasi dan berbagai sektor penopang perekonomian daerah. Namun proyeksi capaian itu ternyata tidak sejalan dengan fakta capaian di lapangan.
Meski Pakde telah menyatakan ada tiga sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Jatim, yakni sektor perdagangan, hotel, dan restoran, kemudian sektor industri pengolahan, dan pertanian. Karena sektor perdagangan, hotel, dan restoran kata Pakde mampu memberikan kontribusi 30 persen, industri pengolahan 27,11 persen dan pertanian 15,42 persen.
Sementara dari sisi investasi, realisasi yang masuk ke Jatim selama 2012 mencapai Rp133,43 triliun atau naik sekitar 20,72 persen dibanding tahun sebelumnya sejumlah Rp110,47 triliun. Faktor inflasi menurut Pakde bisa ditekan 4,5 persen, kendati masih lebih tinggi dibanding daerah lain. Tapi, harus diakui bahwa kegagalan Pemprov Jatim dalam menekan inflasi di sektor pangan adalah karena salah sasaran dalam menjalankan program operasi pasar dan subsidi ongkos angkut untuk stabilitas harga.
Kita mengenal dua macam kemiskinan yaitu kemiskinan struktural dan kemiskina kultural. Kemiskinan structural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya.
Mereka ini buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam
kondisi miskin.
Tidak sunguh-sungguh dalam mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin. Jika ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Akibatnya tidak ada masyarakat miskin yang ?naik kelas?. Masyarakat kaum buruh, nelayan, pemulung akan selamanya tetap menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan miskin kultural adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas.
Kemiskinan kultural ini merupakan buah dari kemiskinan structural. Masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup. Selain itu juga sering kali diperkuat dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru tentang takdir, sabar dan syukur, sebagaimana diajarkan dalam faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima ?takdir? yang ada.
Apakah kemiskinan di Jatim termasuk kemiskinan struktural ataukah kultural? Ataukah kedua-duanya? Nah, akar persoalan kemiskinan itulah yang harus segera kita bongkar bersama-sama!
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur