Deadline 1×24 jam Presiden SBY terhadap Pertamina agar meninjau kembali perubahan harga elpiji komersial kemasan 12 dan 50 kg sebenarnya merupakan bentuk transaksi publik. Namun banyak kalangan menilai dengan mengaitkan pencitraan politik. Mereka kurang memperhatikan BUMN pada umumnya, termasuk Pertamina yang selama ini hanya terpaku pada manajemen bisnis fungsi sentris seperti yang digambarkan oleh Larry Selden & Geoffrey Colvin dalam bukunya Killer Customers, (2004).
Fungsi sentris menurut Larry Selden & Geoffrey Colvin merupakan strategi bisnis lebih mengandalkan pada sisi kinerja perusahaan, konsolidasi internal sehingga kurang menyentuh aspek-aspek market. Akibatnya orientasi bisnis BUMN pada umumnya tidak menyentuh pada persoalan bagaimana strategi pemasaran produk seharusnya dengan menggunakan kacamata konsumen yang oleh Larry Selden & Geoffrey Colvin disebut konsumen sentris (customer centric).
Alur pemikiran itu bisa dibaca dari pernyataan Dirut Pertamina Karen Agustiawan dan tulisan Muhammad Said Didu di Jawa Pos, 11/01/2014, yang mengatakan bahwa kenaikan harga elpiji kemasan 12 dan 50 kg sebagai produk komersial (nonsubsidi) Pertamina sama dengan perubahan harga produk komersial lainnya seperti rokok, BBM nonsubsidi, harga tiket pesawat Garuda dan Merpati serta tarif telepon PT Telkom murni mengikuti mekanisme korporasi.
Meski demikian Said Didu memberikan langkah-langkah Pertamina ke depan agar agar tidak terjadi kebocoran pelaksanaan penyediaan barang publik (public goods) subsidi dan Public Service Obligation/PSO, yaitu harus melakukan prinsip umum barang subsidi, yaitu, by name by address (hanya boleh dibeli/diterima yang berhak),. Said Didu mencontohkan dengan pelaksanaan penyediaan pupuk bersubsidi di seluruh Indonesia yang dianggapnya telah berjalan baik. Selanjutnya pemisahan untuk barang nonsubsidi dilakukan dengan mekanisme bisnis tanpa intervensi apa pun.
Pertanyaannya: karena apa perubahan harga elpiji komersial 12 dan 50 kg direspon publik negatif? Jawabannya: justru karena penyediaan elpiji bersubsidi kemasan 3 kg belum diatur by name by address bahkan dijual bebas di pasar-pasar modern. Pemisahan antara elpiji komersial kemasan 12 dan 50 kg dengan elpiji bersubsidi kemasan 3 kg tidak diatur sehingga pemisahannya tidak jelas. Walhasil elpiji bersubsidi kemasan 3 kg bisa diakses oleh siapa saja, sekalipun orang kaya raya. Bahkan demo memasak yang dipertontonkan di televisi seringkali menggunakan elpiji bersubsidi kemasan 3 kg. Beda dengan elpiji komersial, dibatasi dengan harga nonsubsidi.
Realitas di lapangan seperti itu mengakibatkan perubahan harga elpiji komersial akan mengancam ketersediaan elpiji bersubsidi 3 kg di pasar. Karena akses masyarakat konsumen miskin penerima hak elpiji bersubsidi kemasan 3 kg sangat terbatas. Sedangkan akses masyarakat konsumen elpiji komersial kemasan 12 dan 50 kg dari kelas menengah ke atas yang akan migrasi ke elpiji bersubsidi 3 kg lebih leluasa. Bahkan sekali transaksi mereka mampu memborong minimal 4-5 tabung elpiji bersubsidi kemasan 3 kg.
Oleh karenanya, perubahan harga elpiji kemasan 12 dan 50 kg dan BBM nonsubsidi dari Pertamina tidak dapat disamakan dengan kenaikan harga rokok, tiket pesawat Garuda dan Merpati serta tarif telepon PT Telkom. Karena ketersediaan tiket pesawat, tarif telepon, dan jasa publik angkutan umum PATAS umpamanya yang tersedia di pasar banyak pilihannya. Sedangkan ketersediaan elpiji di pasar hanya tersedia dari Pertamina. Masyarakat konsumen tidak punya pilihan lain selain elpiji produk Pertamina.
Ketersediaan distribusi elpiji bersubsidi kemasan 3kg yang diserahkan di pasar-pasar terbuka, dan tidak berdasarkan by name by address, maka perubahan harga elpiji komersial dianggap akan mengancam rasa keadilan bagi masyarakat miskin konsumen elpiji bersubsidi. Meskipun selama ini telah terjadi ketidak-adilan di masyarakat sehingga penyediaan elpiji bersubsidi kemasan 3 kg terus acapkali terjadi kelangkaan. Hal ini menunjukkan bahwa secara perlahan tapi pasti telah terjadi migrasi dari konsumsi elpiji komersial ke elpiji bersubsidi. Karenanya ke depan perlu segera dicari pencegahannya.
Dari sisi lain, Pemerintah selama ini tidak pernah berpikir tentang bagaimana masyarakat konsumen akhir elpiji mendapatkan harga elpiji komersial maupun bersubsidi sesuai dengan harga yang ditetapkan Pertamina. Siapa yang menjamin bahwa masyarakat yang tinggal di desa dan kepulauan terpencil mendapat harga elpiji yang sama dengan harga dari Pertamina, paling tidak seperti harga elpiji yang dijual di perkotaan? Apalagi masyarakat konsumen akhir di perkotaan pun tidak pernah mendapatkan harga elpiji yang persis sama dengan harga elpiji yang ditetapkan oleh Pertamina.
Jadi, langkah ke depan, perubahan harga elpiji tidak cukup hanya berdasarkan rekomendasi dari Ketua BPK Hadi Poernomo yang menyatakan, dalam menaikkan harga elpiji, Pertamina harus mengacu pada empat hal, yaitu harga patokan elpiji, kemampuan daya konsumen dalam negeri, kemampuan distribusi, serta koordinasi saat akan menaikkan harga. Yang lebih penting adalah bagaimana keempat faktor itu dapat menentukan harga di pasar sesuai dengan kacamata konsumen, yaitu kepastian harga elpiji di konsumen akhir sesuai dengan ketentuan harga dari Pertamina.
Subsidi di sektor distribusi barang publik seperti elpiji sampai ke tangan konsumen akhir perlu diwujudkan dalam program nasional ke depan. Adanya subsidi distribusi barang publik itu akan dapat memastikan bahwa harga jual yang telah disetujui Pemerintah akan tetap sama dengan harga beli konsumen akhir di pasar. Jika tidak, maka akan lebih mudah diusut di titik mana telah terjadi penyimpangannya.
Oleh karenanya UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 46 huruf d, menegaskan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Maka, Pertamina yang melakukan perubahan harga barang publik elpiji komersial yang? tanpa koordinasi lebih dulu dengan Pemerintah dapat dianggap sebuah pelanggaran. Sehingga Presiden SBY mendeadline Pertamina 1×24 jam agar meninjau kembali harga elpiji komersial kemasan 12 dan 50 kg adalah dibenarkan secara hukum.
Presiden SBY, mewakili publik menyadari bahwa rasa keadilan masyarakat konsumen elpji bersubsidi akan terancam jika perubahan harga “sepihak” dari Pertamina dibiarkan. Sedangkan masyarakat konsumen elpiji komersial tidak memiliki kemampuan menawar dengan Pertamina. Mereka hanya mampu melakukan efisiensi kebutuhan elpijinya dengan cara migrasi ke elpiji bersubsidi. Oleh karena itu, proses penawaran itu harus dilakukan oleh Pemerintah, yang akhirnya disepakati harga perubahan harga elpiji komersial sebesar Rp. 1.000 perkg. Mungkin, karena proses transaksi publik ini baru kali pertama terjadi maka terkesan sepertinya lucu. Padahal UUPK Pasal 4 huruf d, menegaskan: hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur