BENCANA datang tanpa aba-aba, begitulah headline Koran Sindo edisi Kamis, 02/01/2020. Tajuk itu untuk menggambarkan bencana banjir yang menggulung Kota Jakarta pada hari pertama 2020. Kado tahun baru amat pahit bagi sebagian warga Jakarta yang jadi korban langsung. Sejatinya, sinyal akan terjadinya bencana sudah ada, sebab beberapa hari sebelumnya BMKG telah merilis bahwa Jakarta akan diguyur hujan lebat di akhir Desember. Tampaknya semua pihak kurang mengantisipasi aba-aba dari BMKG tersebut.
Akibatnya, ongkos sosial ekonomi yang harus ditebus Kota Jakarta dan warganya sebagai korban menjadi sangat mahal. Kita sebagai warga bisa saja menuding bahwa banjir bandang yang melanda Kota Jakarta adalah tanggung jawab Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Atau bahkan tanggung jawab Presiden Joko Widodo sekalipun. Saat berkampanye sebagai calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berjanji membebaskan Jakarta dari terjangan banjir. Bahkan, Presiden Joko Widodo saat berkampanye menjadi calon presiden jilid pertama juga berjanji bahwa masalah macet dan banjir di Jakarta akan mudah diatasi jika dirinya menjadi presiden. Buktinya?
Dalam konteks perlindungan konsumen, banjir Jakarta juga terbukti meluluhlantakkan hak-hak keperdataan konsumen sebagai pengguna barang atau jasa. Pertama, banjir Jakarta telah melumpuhkan pelayanan public utilities yang sangat mendasar, seperti air bersih, aliran listrik, saluran telekomunikasi, bahkan pasokan BBM. Saat banjir melanda, pelayanan/aliran air bersih, aliran listrik, dan pasokan BBM mengalami gagal fungsi, bisa karena mengalami kerusakan karena dampak banjir dan atau dimatikan oleh operator dengan alasan keamanan serta keselamatan konsumen dan properti lainnya. Secara empiris alasan tersebut bisa diterima akal sehat.
Namun, apakah operator juga memikirkan kompensasi lain yang bisa diberikan konsumennya? Tentu saja bukan sekadar bagi-bagi sembako untuk para korban dan atau memasok air bersih dengan truk-truk tangki. Agar lebih manusiawi dan fairness, lumpuhnya pelayanan selama banjir, idealnya operator pelayanan publik seperti PT PLN, PDAM seyogianya memberikan potongan tagihan kepada konsumen yang menjadi korban langsung atas banjir itu. Dalam hal ini PT PLN sudah mempunyai mekanisme untuk memberikan kompensasi kepada konsumennya. Namun, mekanisme kompensasi yang ada saat ini belum cukup signifikan memulihkan hak konsumen sebagai korban atas bencana banjir.
Sektor telekomunikasi bisa saja berdalih bahwa BTS miliknya mengalami gangguan atau bahkan mati, karena tidak ada pasokan arus listrik selama banjir. Namun, alasan ini tidak cukup valid karena seharusnya operator menyiapkan baterai yang cukup, bahkan genset untuk cadangan jika pasokan listrik PLN mengalami gangguan atau mati. Apalagi untuk operator yang beroperasi di Jakarta, maka back up system harus kuat dan berlapis-lapis. Banyak keluhan yang penulis terima dari konsumen, baik yang menjadi korban banjir atau tidak, bahwa sinyal selulernya lemot alias endut-endutan .
Konsumen juga bisa mengulik atas potensi pelanggaran haknya selama korban banjir, misalnya terkait kendaraan bermotor miliknya, khususnya yang dibeli secara mengangsur/kredit via leasing dan atau konsumen yang tinggal di perumahan bahkan apartemen. Saat banjir Jakarta tahun 2007 dan 2012, YLKI banyak menerima sengketa konsumen terkait jaminan asuransi kendaraan yang menjadi korban banjir. Pihak dealer/leasing tidak mau bertanggung jawab terhadap mobil yang rusak karena banjir, sementara mobil tersebut masih dalam masa jaminan. Karena itu, konsumen sebaiknya mengasuransikan mobilnya atau dalam masa garansi harus diyakinkan banjir dan bencana lainnya masuk ranah yang diakomodasi oleh asuransi.
Dalam konteks konsumen perumahan yang menjadi korban banjir, harus dicek apakah dalam iklan/brosur oleh suatu developer, perumahannya dinyatakan bebas banjir? Jika developer tersebut dalam iklan/brosur promosinya menyebutkan bebas banjir, maka developer tersebut harus bertanggung jawab. Artinya konsumen berhak mendapatkan kompensasi. Bahkan konsumen bisa melakukan gugatan ke pengadilan karena developer tersebut telah melakukan wanprestasi alias ingkar janji. Ironisnya, ada suatu contoh iklan properti yang ditayangkan via salah satu stasiun televisi menyebutkan: bebas banjir sampai ribuan tahun. Iklan semacam ini, menurut UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dilarang. Sebab, menjanjikan sesuatu yang berlebih-lebihan, bombastis, hiperbolis, bahkan tidak rasional.
Lalu bagaimana konsumen sebagai warga negara, apakah bisa melakukan gugatan pada pemerintah terhadap banjir Jakarta 2020? Tentu saja bisa, sebab melakukan gugatan adalah hak setiap warga negara, dijamin dalam UU, bahkan konstitusi. Tergugatnya pun bukan tunggal, tapi tanggung renteng, karena dalam urusan banjir Jakarta, tidak serta-merta urusan Pemprov DKI Jakarta saja, tapi juga pemerintah pusat. Jadi, pihak yang bisa digugat warga Jakarta terkait banjir adalah Gubernur DKI Jakarta dan atau Presiden RI Joko Widodo. Apalagi dalam kampanyenya sebagai calon gubernur, Anies Baswedan menjadikan “Jakarta Bebas Banjir”, sebagai janji kampanye. Demikian juga saat Jokowi berkampanye pada kampanye capres jilid pertama, tegas menyebutkan bahwa upaya mengatasi kemacetan dan banjir di Jakarta akan lebih mudah manakala dirinya menjadi Presiden RI. Bukti dan faktanya, Jakarta sampai detik ini belum terbebas dari banjir sehingga, baik Anies Baswedan ataupun Joko Widodo telah pula mencederai janji, karena tidak mampu memenuhi janjinya saat kampanye.
Karena itu, cukup absah jika warga Jakarta sebagai korban banjir melakukan gugatan kepada Anies Baswedan dan atau Joko Widodo, baik gugatan secara individual ataupun gugatan publik, seperti class action /legal standing . Preseden terhadap hal ini pernah dilakukan pada banjir Jakarta 2002, koalisi masyarakat sipil bersama warga melakukan gugatan class action terhadap Pemprov DKI Jakarta karena tidak melakukan early warning system atau sistem peringatan dini kepada warganya. Nihilnya peringatan dini tersebut mengakibatkan korban banjir menjadi eskalatif dan tidak terkendali.
Pertanyaan serupa, apakah pada banjir 2020 Pemprov DKI Jakarta telah melakukan early warning system secara baik dan masif? Terjangan banjir di Jakarta menjadi bukti absah bahwa banjir merugikan hak-hak masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen (pengguna barang/jasa) dan atau masyarakat sebagai warga negara, citizen . Masyarakat bisa menuntut ganti rugi, baik pada operator/provider penyedia jasa ataupun pemerintah, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Apalagi jika terbukti pemerintah tidak melakukan upaya early warning system dan tidak melakukan upaya perbaikan serta pembangunan infrastruktur untuk mencegah atau mengurangi dan mengantisipasi dampak banjir.
Artikel ini pertama kali terbit di Koran Sindo/ SINDONEWS.com Jumat, 10 Januari 2020
Gambar: Banjir – dok. YLKI
Tulus Abadi Ketua Penguruh Harian
Source: YLKI