Keluhan Konsumen Bukan Perbuatan Pidana, ICJR Kirimkan Amicus Curiae untuk Pengadilan Negeri Surabaya Pada Perkara UU ITE Stella Monica

Stella Monica Hendrawan (SM) pada Januari 2019 sampai dengan September 2019 menjadi pasien Klinik Kecantikan L’viors, dengan demikian SM adalah konsumen dari Klinik L’viors. Pada Desember 2019, SM menggunggah komentar dalam Instagram pribadinya tentang pengalamannya memperoleh perawat dari Klink L’viors yang kemudian direspons oleh teman-teman yang memiliki pengalaman buruk yang hampir sama. Hal itu dilakukan atas dasar sharing berbagi dengan teman-temannya.

Pada Januari 2020, SM justru menerima surat somasi oleh pengacara klinik L’viors tersebut yang menyatakan bahwa dia telah mencemarkan nama baik klinik dan harus memenuhi permintaan somasi dengan menerbitkan permintaan maaf di media massa (koran) minimal setengah halaman untuk tiga kali penerbitan berbeda hari. Setelah dikirimi somasi, SM dan keluarga mencoba negosiasi berkali-kali karena permintaan tersebut dinilai memberatkan. Hal ini yang memprihatinkan, justru konsumen diberikan beban kewajiban yang memberatkan, bukan didengarkan keluhannya bahkan tidak diberikan kesempatan untuk menguji produk dan memperoleh kompensasi.

Bahkan, pada Juni 2020, anggota kepolisian dari Tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim mendatangi rumah SM membawa surat laporan dari pihak klinik. Kemudian berdasarkan pemeriksaan lanjutan SM didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan tunggal Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik. Menurut Penuntut Umum, SM telah mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses dokumen elektronik yang mengarah pada kegagalan Klinik L’viors dalam menangani pasiennya, yang menurut Penuntut Umum, hal tersebut sebagai muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

ICJR melihat sejumlah catatan terhadap kasus yang menjerat SM, terdapat sejumlah masalah, sehingga seharusnya SM tidak dapat diputus bersalah, berdasarkan alasan berikut:

Pertama, terdapat kesalahan mendasar bahwa Penuntut Umum tidak memahami konstruksi hukum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Tuntutan diberikan Penuntut Umum didasari pertimbangan yang langsung kepada pemaknaan konten, tidak terlebih dahulu membaca keseluruhan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE, hal ini adalah kesalahan. Seharusnya Penuntut Umum memperhatikan penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE. Terdapat batasan untuk menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu harus merujuk Pasal 310, 311 KUHP berserta pengecualiannya, tidak hanya dengan pemaknaan konten.

Kedua, Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dapat ditujukan kepada orang: Klinik L’viors bukan orang. Konstruksi Pasal 310, 311 KUHP hanya dapat ditujukan kepada orang karena kehormatan hanya dapat dimiliki orang perseorang. Instrumen hukum pidana terkait dengan pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi hanya untuk melindungi reputasi orang, tidak lembaga, apalagi lembaga yang berinteraksi dengan publik yang merupakan subjek keluhan dan kritik.

Ketiga, perbuatan SM demi kepentingan publik, sesuai dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP tidak dapat dipidana. “demi kepentingan umum” diartikan “agar supaya umum waspada kepada oknum yang ‘dicemarkan itu. Agar bermanfaat untuk orang banyak. Kepentingan umum adalah suatu keadaan yang berkaitan dengan umum, yang dapat membawa pengaruh terhadap kepentingan umum. Perbuatan SM berkaitan dengan kepentingan umum, harusnya kesalahannya terhapus, yang dilakukannya juga sejalan dengan kasus Prita Mulyasari (PM). Dalam putusan PK kasus PM No. 225/PK/PID.SUS/2011 penghinaan tidak ada jika sifat tuduhan tidak hanya berkaitan dengan kepentingan pribadi namun juga berhubungan dengan orang lain yang akan berhubungan dengan tertuduh.

Keempat, perbuatan yang dilakukan SM dilindungi oleh UU perlindungan konsumen. Pasal 4 angka 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen memiliki sejumlah hak, diantaranya hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Kelima, Penghinaan tidak dapat ditafsirkan secara gramatikal. Beberapa pernyataan yang disampaikan di dalam tuntutan yang merupakan postingan SM di dalam akun Instagramnya bukan merupakan penghinaan. Kata-kata buruk yang berisi cacian, ejekan, atau kata tidak pantas sendiri belum memenuhi unsur “penghinaan” untuk dipidana menggunakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, merujuk ke putusan MK No. 50/PUU-VI/2008.

Keenam, penuntut umum melakukan kesalahan mendasar lainnya, Ketiga putusan yang dikutip oleh Penuntut Umum untuk membuktikan unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” bukan putusan bersalah menggunakan Pasal 27 ayat (3) sebagaimana yang dituntut oleh penuntut umum. Hal ini kesalahan fatal dari penuntut umum yang seharusnya berargumen sesuai dengan isu hukum yang dibahas.

Sumber : ICJR