Masalah terkait pembiayaan leasing marak terjadi di kalangan konsumen Indonesia dan semakin meningkat sejak adanya pandemi Covid-19, awal Maret 2020. Penarikan kendaraan objek leasing akibat gagal membayar cicilan, pemaksaan secara sepihak oleh debt collector, tidak adanya akta fidusia dan penangguhan pembayaran cicilan akibat pandemi adalah beberapa masalah konsumen, yang sering diadukan ke badan atau lembaga perlindungan konsumen.
Di masa pandemi Covid-19 ini, masalah penangguhan pembayaran cicilan akibat pandemi mendominasi jumlah pengaduan konsumen tentang leasing. Untuk membantu masyarakat agar lebih memahami hukum terkait leasing, YLPK Adamas sebagai sebuah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, menggelar Penyuluhan Hukum Mengenai Keringanan Pembiayaan (Leasing) Bagi Terdampak Pandemi Covid-19 secara daring, pada Selasa, 23 Februari 2021.
Dr. N.G.N. Renti M. Kerti, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dalam penyuluhan hukum tersebut mengungkap, secara hukum, leasing dasarnya adalah suatu perjanjian yang mengacu pada KUH Perdata pasal 1320 dan 1338. Jenis perjanjian pembiayaan sendiri tidak hanya leasing atau sewa guna usaha, tetapi ada juga anjak piutang, modal ventura, kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
Dr. Renti menjelaskan, “Perjanjian leasing pada prakteknya bersifat perjanjian baku. Artinya perjanjian yang memang dibuat secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan, yang akan memuat syarat yang bersifat baku atau klausula baku. Oleh sebab itu maka hubungan hukum antara debitur, dalam hal ini konsumen leasing, dengan pihak perusahaan pembiayaan atau kreditur adalah atas dasar perjanjian. Prinsipnya, leasing merupakan perjanjian pokok yang perlu diikuti dengan perjanjian tambahan, yang dikenal dengan istilah perjanjian accessoir dalam bentuk pengikatan jaminan fidusia terhadap obyek leasing tersebut.”
Konsumen sendiri memiliki payung hukum Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) atau UU No. 8 Tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang perlindungan konsumen di sektor keuangan. Di masa pandemi, saat banyak konsumen mengalami kesulitan ekonomi sehingga gagal bayar cicilan, pemerintah berinisiatif membantu meringankan beban masyarakat atau debitur leasing melalui OJK. OJK telah mengeluarkan POJK No. 11/POJK.03/2019 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Counter Cyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Dalam peraturan tersebut, OJK menetapkan bantuan berupa keringanan cicilan maksimal selama 1 tahun untuk debitur. Update OJK per 6 April 2020 menyebut, keringanan cicilan tidak diberikan kepada masyarakat atau konsumen secara otomatis. Artinya, konsumen atau debitur wajib mengajukan permohonan keringanan cicilan kepada perusahaan pembiayaan secara tertulis. Sementara perusahaan wajib menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah tersebut kepada debitur dan wajib melalukan assessment kepada debitur yang mengajukan permohonan tertulis.
Ada lima bentuk keringanan untuk debitur dalam POJK No. 11 tahun 2019, yang bisa dipilih salah satunya. Keringanan bisa berupa keringanan bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga dan penambahan fasilitas pembiayaan.
“Bagi debitur yang memiliki penghasilan tetap, maka ia tetap harus memenuhi atau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati bersama,” tutur Dr. Renti.
Para pelaku usaha di sektor keuangan, menurut Dr. Renti, sudah mengikuti kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan pengumumam tahun lalu, bahwa mereka siap menerima aduan dari konsumen yang terdampak pandemi sehingga kesulitan untuk menyelesaikan kewajiban pelunasan pembayaran cicilan. Mereka juga menyediakan layanan daring untuk konsumen yang disesuaikan dengan kondisi pandemi, seperti link media sosial, e-mail dan call center.
Dalam penyuluhan hukum, Dr. Renti berharap OJK bersama LPKSM dan perguruan tinggi aktif secara berkesinambungan, mensosialisasikan hukum terkait leasing dalam perspektif perlindungan konsumen. Kesadaran hukum pelaku usaha juga perlu ditingkatkan agar terwujud pelaku usaha yang mematuhi aturan hukum dan bertanggung jawab. Di sisi lain, bisa terwujud konsumen yang sadar hak dan kewajibannya sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif.
“Selain itu, saya berharap LPKSM sebagai pendamping konsumen, bisa hadir di event-event seperti pameran otomotif, yang mungkin akan bangkit kembali setelah masa pandemi berakhir. Dan adanya optimalisasi fungsi pengawasan OJK secara konsisten serta ketegasan OJK dalam menerapkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar aturan hukum yang berlaku,” tutupnya.
Sumber : Sinergi News