Potret Konstruksi Jalan dan Jembatan di Indonesia

jembatanKasus ambruk (ambles)-nya jalan RE Martadinata sebagai jalan sentral yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Pusat Jakarta kamis, (16/9), menambah daftar ambruknya jalan dan jembatan nasional sebelum waktunya. Inikah potret proyek pemerintah yang bermutu minimalis tapi dengan biaya maksimal?

Akibatnya publik sebagai masyarakat konsumen penikmat akhir hasil pembangunan dirugikan. Selain tak dapat menikmati jaminan mutunya yang tepat juga anggaran publik yang dihasilkan dari penarikan berbagai macam pajak dan retribusi dari rakyat untuk APBN atau pun APBD ternyata lebih banyak menguap percuma.

Banyak contoh proyek pemerintah yang dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi ternyata “layu sebelum berkembang.” Antara lain sering kita temui proyek jaringan distribusi air bersih tak berfungsi, bangunan gedung cepat ambruk, jalan tol tiba-tiba ambles, jalan raya berlobang, jalan kota cepat rusak sebelum dinikmati publik secara maksimal.

Ambruknya jembatan Merr II di Surabaya tahun 2002, ambruknya jembatan Sedayu Lawas Brondong Lamongan tahun 2003, robohnya girder jembatan Suramadu di awal tahun 2005, dan amblesnya jalan tol Cipularang (Cikampek-Purwokerto-Padalarang) akhir tahun 2005 dan masih banyak lagi contoh proyek pemerintah pusat dan daerah yang telah menghabiskan anggaran maksimal tapi bermutu minimalis. Di mana letak kesalahannya? Dan apa sumber masalahnya?

Anomali Perencanaan.

Seperti kita ketahui, bahwa proses perencanaan pada umumnya dimulai dari penyusunan rencana proyek dan estimasi anggaran yang dibutuhkan. Rencana proyek dan estimasi anggaran itu kemudian diajukan kepada DPR RI bagi pemerintah pusat dan diajukan kepada DPRD bagi pemerintah provinsi, kota dan kabupaten untuk mendapatkan persetujuannya.

Dalam proses presentasi di hadapan para wakil rakyat itulah mulai terjadi tarik ulur yang sangat rumit karena terjadi pertarungan kepentingan perebutan alokasi proyek. Bukan rahasia lagi, antara pemegang otoritas proyek, kepala dinas, pimpro dan lainnya saling “mengintip” beberapa paket proyek yang ingin dikerjakan sendiri secara tak langsung. Di pihak lain anggota DPR tak mau kalah juga “mengintip” jatah paket proyek meski akan dikerjakan dengan cara tak langsung pula. Dari sinilah awal membengkaknya biaya proyek yang dianggarkan jauh dari realitas kebutuhan riilnya.

Pembagian kue proyek ini seringkali disebut plot pekerjaan proyek antara eksekutif, legislatif berkolaborasi dengan organisasi profesi jasa konstruksi. Jumlah proyek dikapling-kapling. Pelaksanaan proyek dalam praktiknya berselisih dengan rancangan desain perencanaan awal dengan cara mengurangi volume pekerjaan dan menurunkan mutu pekerjaan dengan tetap menggunakan biaya maksimal.

Akibatnya banyak hasil pembangunan yang bernilai sangat mahal namun cepat rusak sebelum waktunya. Tak perlu heran jika mendengar bangunan jalan banyak berlobang, puskesmas roboh dan sekolahan ambruk yang baru saja dibangun. Padahal kita sampai sekarang belum pernah mendengar bangunan sekolah dan jembatan warisan pembangunan penjajah Belanda yang ambruk meski berumur lebih dari satu abad.

Anomali Pelaksanaan.

Program e-procurement (prosedur lelang dan proses untuk mendapatkat proyek yang dilelang via internet) tak menjamin adanya hasil pekerjaan proyek yang bermutu maksimal dengan biaya minimal. Karena dari hulunya telah terjadi proses anomali. Anomali di hulu itu terus mengalir ke dalam proses pelaksanaan proyek di hilir baik dalam pengadaan material, konstruksi bangunan, jalan, jembatan dan juga dalam pengawasannya. Karenanya, ada dua anomali pelaksanaan proyek di pemerintahan.

Pertama, proses evaluasi prakualifikasi dan pascakualifikasi tentang kemampuan dan pengalaman perusahaan. Namun dalam pelaksanaannya lebih banyak disubkontrakkan pada perusahaan pelaksana yang tak memiliki kualifikasi kelayakannya guna mengeruk keuntungan lebih besar. Sedangkan perusahaan pemenang hanya bertindak tak lebih sebagai “makelar proyek”.

Mata rantai pelaksanaan proyek semacam ini menelan biaya sangat tinggi. Karena ada mata rantai yang sama-sama berkeinginan mengeruk keuntungan lebih besar. Acuan standarisasi pembangunan jalan dan jembatan pada standar British Standard, ACI, ASTM dan AASHTO sudah tak berlaku lagi dalam praktik di lapangan.

Kedua, rakayasa pengubahan perencanaan melalui as built drawing. As built drawing dibuat untuk pemetaan pelaksanaan proyek sesuai dengan bestek (peraturan spesifikasi proyek yang harus diikuti oleh pelaksana proyek). Tapi seringkali hal ini dimanfaatkan untuk negosiasi antara pimpro, kontraktor, konsultan pengawas dan petugas pengawas lapangan dari dinas terkait untuk mengurangi volume pekerjaan dan mutu pekerjaan dengan biaya tetap maksimal sebelum proyek dilaksanakan.

Fungsi as built drawing ini bisa menjadi tameng dari dugaan publik tentang praktik KKN di proyek pemerintah. Maka dalam praktiknya, as built drawing bukannya untuk pemetaan pelaksanaan sesuai dengan bestek tapi seringkali disalahgunakan untuk menutupi praktik KKN. Tak perlu heran jika ada proyek jalan yang desain volume lebar dan panjang tertentu dengan spesifikasi teknis standar internasional itu namun realisasinya berstandar lokal dengan legitimasi as built drawing. Praktik semacam ini mungkin bisa dilacak pada proyek pembangunan konstruksi jalan RE Martadinata yang ambruk itu. Praktik semacam ini berjalan karena publik tak pernah memperhatikannya.

Publik Pasif.

Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Konstruksi kemudian diperkuat dengan Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengakomodasi peran serta publik untuk melaporkan penyimpangan pelaksanaan proyek pemerintah kepada pihak yang berwajib atau kepada pemimpin puncak institusi publik yang membawahinya. Baik penyimpangan proses lelang, penunjukan langsung, pengawasan sampai pada masa jaminan pasca pelaksanaan.

Namun hak-hak normatif publik untuk melaporkan itu belum diakomodasi dengan baik. Karena hak untuk mendapatkan informasi tentang bestek proyek sebagai dasar adanya penyimpangan pelaksanaan proyek di lapangan tertutup rapat bagi publik. Ketaktransparan ini mengakibatkan publik bersikap pasif terhadap setiap ada pelaksanaan proyek di sekitarnya. Karena bestek hanya boleh diketahui pimpro, pelaksana proyek, dan konsultan pengawas. Publik tak diberi hak untuk mengetahuinya.

Sebenarnya publik berhak menolak pelaksanaan proyek yang diduga menyimpang dari bestek melalui konsultan pengawas proyek. Berdasarkan laporan itu, konsultan pengawas dapat menolak pula pengadaan barang/material konstruksi yang menyimpang dari standar barang/material yang telah ditetapkan dalam bestek. Namun bestek tak mudah dimengerti oleh semua orang. Biasanya gambaran rencana globalnya saja yang dibuka pada publik bukan rencana detail pengadaan barang/jasa kontruksi.

Maka satu-satunya harapan kita untuk mewakili publik dalam melakukan kontrol pelaksanaan proyek pemerintah adalah partisipasi aktif para pakar teknik sipil dan pers. Para pakar itu jangan hanya jadi pajangan daftar para ahli dalam prakualifikasi adminsitratif dalam proses tender tapi betul-betul melaksanakan tupoksi pengawasannya di lapangan agar publik penikmat akhir hasil pelaksanaan proyek tak dirugikan.

Namun, harapan ini bisa terwujud jika para pakar kita itu tak tergiur juga dalam perebutan kue proyek di pemerintah sehingga agenda proyek pemerintah ke depan benar-benar terkontrol dan berorientasikan pada pertumbuhan bukan pada orientasi proyek “tambal-sulam” jalan, jembatan dan gedung yang sudah ada dan mutunya jelek yang akibatnya hanya menghambur-hamburkan anggaran negara.

Karenanya, kontrol publik dalam proses tender, pelaksanaan dan pengawasannya sangat diperlukan. Maka jangan sampai program e-procurement dan legitimasi as built drawing justru menjadi “bahan pengawet” praktik KKN proyek pengadaan barang/jasa konstruksi di pemerintahan kita. Nah, bagaimana pendapat Anda?saidsutomo

Oleh: M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur

Surabaya, 17 September 2010.