PR Satgas Pemberantasan Mafia Hukum

No comment 713 views

Institusi publik penegakan hukum di negeri kita sekarang bukan lagi tempat terbaik bagi rakyat kita untuk mencari keadilan. Institusi publik penegakan hukum kita lebih tepat dikatakan sebagai tempat terbaik dalam mencari “kebijaksanaan semu” dengan memutarbalikkan fakta hukum materil maupun formil dari rasa keadilan masyarakat. Karenanya di kalangan penghuni Rutan pencari “keadilan” ada istilah yang dikenal dengan istilah “bermain” ataukah dengan “nggelundung semprong” (pasrah).

Para mafia hukum bisa diganyang dan ditumpas sampai ke akar-akarnya jika datangnya dari ekternal institusi publik penegak hukum. Tapi jika para mafia peradilan itu lahir, tumbuh dan mengakar dari internalnya sendiri maka rasanya jargon “ganyang mafia peradilan” hanya menjadi “angin surga” bagi rakyat kecil pencari keadilan. Karenanya terbentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (SPMH) dan regulasi untuk mencegah praktik mafia hukum yang sudah ada tidak punya arti apa-apa jika pada gilirannya melahirkan mafia hukum model baru.

Mafia hukum telah memporak-porandakan tatanan hukum nasional, merontokkan perekonomian nasional, memerosotkan moral anak bangsa dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi publik penegak hukum di negeri kita. Masih segar dalam ingatan kita bahwa Raja Dangdut Rhoma Irama pada tahun 1970-an mengkritik praktik mafia hukum dengan mendendangkan syair lagunya: …yang benar dipenjara, yang salah tertawa …oh…oh…oh…mata duwitan! Kalaupun dipenjara masih tetap bisa berpesta pora dengan menikmati fasilitas perumahan Pondok Indah Jakarta meski mendekam di Rutan Pondok Bambu seperti temuan SPMH.

 

Kerja Sama Warisan Orba.

Regulasi praktik mafia hukum di internal institusi publik di Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga Kehakiman masih menjadi macan ompong. Karena publik belum mengetahuinya dan belum berani melakukan koreksi langsung terhadap praktik mafia hukum yang dilakukan oleh orang-orang di internal institusi publik penegak hukum itu sendiri.

Betapapun Keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/32/VII/2003 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI., di salah ayat Pasal 5 menegaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara RI., dalam memberikan pelayanannya kepada masyarakat senantiasa; tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas bantuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat. Tapi dalam kenyatannya sangat jarang sekali kita temui. Justru yang sering kita jumpai sikap sebaliknya.

Betapapun Perintah butir-butir Jaksa Agung RI, Tanggal 28 Juli 2008 dan Petunjuk Jaksa Agung RI, Tanggal 15 April 2008 yang terpampang di setiap dinding di Kantor-Kantor Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia untuk menjaga integritas Kejaksaan ternyata tidak punya arti apa-apa dalam mencegah praktik mafia hukum dari internalnya. Karena Perintah dan Petunjuk Jaksa Agung itu masih lebih berarti cermin kaca pada umumnya jika untuk melihat “wajah bopeng” kinerja internal Kejaksaan.

Ini semua baru tahapan perkara penyidikan dan penyelidikan di Kepolisian dan Kejaksaan, belum masuk ke tingkat persidangan di Kehakiman. Betapa pun KUHP (Pidana) yang menjadi kitab suci para Hakim dalam memutuskan perkara yang dalam Pasal 210 ayat (1) menegaskan: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim, dengan maksud untuk mempengaruhi putusan dengan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Namun dalam praktiknya hanya segelintir Hakim yang tidak mudah tergiur oleh janji-janji mafia hukum yang telah dibangun selama ini. Pola kerja sama warisan Orba antara Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman yang dikenal dengan sebutan Muspida selama ini telah disalahgunakan untuk membuat keputusan anomali dalam penegakan hukum. Di era reformasi ini, dalam kerangka Muspida, mereka belum terbiasa berjalan pada pola kerja tidak sama berdasarkan Tupoksi masing-masing institusi publik penegak hukum dalam menciptakan keadilan yang sebenarnya seperti yang diharapkan publik pada umumnya.

 

Kontrol Publik Lemah.

Praktik mafia hukum telah mampu mengubah kantor-kantor institusi publik Kepolisian, Kejaksaan maupun Kehakiman menjadi pasarnya perkara. Proses transaksi yang ada di dalamnya seperti halnya proses transaksi produk barang dan jasa yang terjadi di pasar bebas. Ada makelar kasusnya. Tinggi-rendahnya ancaman hukuman dalam KUHP (Pidana) menjadi alat pemerasan. Begitu juga dalam menentukan waktu penetapan proses-proses persidangan telah menjadi komoditas jasa.

Selama ini keberadaan institusi publik penegak hukum paling sedikit mendapatkan kontrol dari publik. Hal ini dikarenakan publik masih sangat awam terhadap regulasi-regulasi internalnya yang wajib dipatuhinya dan diketahui publik dalam menciptakan institusi publik penegak hukum yang bersih dan beribawa. Publik dibuat keder lebih dulu jika berhadapan dengan institusi publik penegak hukum. Apalagi jika terperangkap dalam suatu perkara.

Untuk membangun partisipasi publik dalam mengontrol pelayanan publik di setiap institusi publik penegak hukum, maka pekerjaan rumah (PR) SPMH yang baru dibentuk oleh Presiden berkewajiban mendorong untuk mengevaluasi standar pelayanan publik di setiap instirusi penegak hukum agar ada kepastian hukum. Standar pelayanan institusi publik penegak hukum wajib mengacu pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, antara lain,:

Pertama, penyelenggara institusi publik penegak hukum berkewajiban merevisi standar pelayanan publiknya tentang prosedur, mekanisme, persyaratan, batas waktu yang wajib diselesaikan oleh para pelaksana di lingkungan organisasinya secara berkala dan berkelanjutan berdasarkan pada masukan dari masyarakat. Standar pelayanan ini wajib dimaklumatkan sehingga menjadi pegangan publik. Sehingga tidak terjadi overload penghuni Rutan bukan karena semakin meningkatnya jumlah pelaku tindak pidana tapi karena penyelesaian proses-proses hukumnya lebih banyak waktunya memang diulur-ulur.

Kedua, penyelenggara institusi penegak hukum berkewajiban melakukan upaya peningkatan kapasitas dan integritas para pelaksananya agar dalam pelayanannya tidak diskriminatif. Karena sumber masalah menguatnya praktik mafia hukum di negeri kita selama ini berawal dari terbukanya pelayanan diskriminatif dan ketidakprofesionalnya aparat penegak hukum. Contohnya di Kejaksaan, akibat mereka terbiasa dilobi terlebih dulu agar meringankan dakwaan dan tuntutannya, maka mereka pada umumnya tidak terbiasa bekerja secara fight. Sehingga acara persidangan hanya menjadi “panggung sandiwara”.

Ketiga, penyelenggara institusi publik penegak hukum berkewajiban memilki Citizen’s Charter sesuai dengan azas pelayanan publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian dimaklumatkan pada publik. Maklumat pelayanan publik dalam pelayanan penegakan hukum itu berupa pernyataan yang dapat diketahui dan mudah dipahami publik yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanannya. Berdasarkan Citizen’s Charter ini maka publik bisa mengontrol pelayanannya dan mencegah praktik mafia hukum yang lahir dari internalnya sendiri.

Namun yang paling krusial dalam mereformasi instirusi publik penegak hukum adalah mengubah pola kerja antar institusi publik penegak hukum itu sendiri. Pola “kerja sama” dalam penegakan hukum yang sudah “salah kaprah” selama ini diubah menjadi pola “kerja tidak sama”. Karena pola “kerja sama” merupakan awal lahirnya mafia hukum. Praktik “kerja sama” dalam penegakan hukum lebih banyak melahirkan produk putusan anomali.

Karenanya, akses partisipasi publik untuk mengontrol standar pelayanan institusi publik penegak hukum harus dibuka. Hanya dengan cara itu maka praktik mafia hukum dari internalnya bisa diganyang secara bersama-sama!

Oleh:
M Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur