RASANYA tidak masuk akal. Apalagi, itu terjadi pada akhir bulan Januari 2010 di saat semestinya tidak mungkin terjadi listrik mati begitu lamanya. Tapi, itulah kenyataannya. Tanggal 30 Januari 2010 kemarin, ada satu kawasan kecil di Surabaya (tepatnya di sebuah RT di Tenggilis Mejoyo, Surabaya) listrik mati sejak pukul 15.00 dan baru hidup pukul 24.00.
Itu saya ketahui dari SMS yang masuk ke HP saya. Saat itu masih pukul 17.00, berarti mati lampunya sudah dua jam. Saat itu saya lagi di ruang rapat kantor PLN pusat. Saya lagi membaca sebuah konsep perubahan pelayanan pelanggan PLN yang tentunya juga membahas soal mati lampu yang menjadi keluhan utama pelanggan.
Menurut konsep tersebut, penyebab utama kejadian mati lampu yang bersifat lokal seperti di Tenggilis itu umumnya akibat kerusakan trafo 200 kva (trafo untuk melayani sekitar 200 sampai 500 rumah).
Ketika saya tiba di Surabaya Jumat tengah malam, saya bertekad keesokannya saya harus ke lokasi yang mati lampu itu. Saya harus tahu secara detail apa yang terjadi di Tenggilis Mejoyo tersebut. Ini penting karena semua kasus mati lampu di mana pun kira-kira penyebabnya sama. Kalau saya bisa menghayati apa yang terjadi di Tenggilis tersebut, tentu saya bisa memperoleh gambaran begitulah yang terjadi di seluruh Indonesia.
Sebenarnya, saya sendiri bertekad tidak akan mendalami dulu masalah-masalah distribusi dan pelayanan pelanggan seperti ini. Saya berencana baru akan mendalaminya mulai April mendatang.
Yakni, harus menyelesaikan dulu masalah-masalah yang terjadi di hulu dan yang lebih mendasar. Misalnya, soal kekurangan gas 1 juta mmbtu setiap hari. Atau, bagaimana mengatasi kekurangan daya (strum) di luar Jawa. Atau, bagaimana memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa yang harus lebih hemat.
Tahun ini, PLN harus membeli barang/jasa lebih dari Rp 70 triliun. Alangkah besarnya. Saya ingin agar pembelian tersebut jangan sembarangan. Perlu langkah penghematan yang nyata dalam membelanjakan uang sebanyak itu.
Kalau masalah-masalah mendasar tersebut sudah tertata, barulah saya bertekad mendalami persoalan yang menyangkut peningkatan pelayanan pelanggan.
Tapi, kejadian mati lampu di sebuah RT di kota besar seperti Surabaya selama 10 jam yang tidak masuk akal itu membuat saya harus mengetahui detail persoalannya. Mungkin saya belum akan melakukan perbaikan, tapi setidaknya sudah mengetahui akar masalahnya.
Apalagi, beberapa masalah mendasar memang sudah berhasil ditata. Perjuangan untuk pengadaan gas yang bisa menghemat dana Rp 15 triliun per tahun itu sudah menunjukkan hasil. Pemerintah sudah memutuskan bahwa mulai September tahun depan PLN bisa mendapatkan kekurangan seluruh gas yang diinginkan.
Gambaran bagaimana mengatasi krisis listrik luar Jawa juga sudah selesai dipetakan dan dibuatkan road map-nya. Bahkan, sistem baru pengadaan barang/jasa juga mulai berjalan.
Hasilnya luar biasa: pengadaan barang strategis pertama yang kami lakukan minggu lalu (satu jenis barang saja) sudah bisa menghemat lebih dari Rp 50 miliar. Barang yang dulu harus kita beli dengan harga Rp 120 miliar/buah, dengan sistem baru itu, bisa kita beli dengan harga Rp 65 miliar/buah. Hemat Rp 55 miliar untuk satu barang.
Maka, ketika ada berita mati lampu selama 10 jam di sebuah RT di kota besar seperti Surabaya, saya menyelipkan agenda ini di sela-sela kesibukan saya yang sangat padat selama sebulan menjabat Dirut PLN ini. Tidak masuk akal ada peristiwa mati lampu 10 jam! Tapi, itulah kenyataannya. Saya khawatir kejadian ini tidak hanya terjadi di Tengglis Mejoyo. Saya khawatir kejadian serupa juga terjadi di Bekasi, Bantul, atau daerah lainnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sabtu pagi kemarin, pukul 06.30 WIB, saya minta salah seorang manajer PLN menemani saya ke Tenggilis Mejoyo. Saya hanya mau ditemani manajer yang paling bawah yang tahu persis keadaan lapangan. Tidak perlu ditemani para pimpinan PLN tingkat atas. Toh, saya tidak bermaksud melakukan inspeksi atau sidak.
Saya benar-benar hanya ingin belajar memahami apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan apakah bisa dicarikan jalan keluar yang sifatnya lebih mendasar dan lebih berlaku umum. Yakni, jalan keluar yang bisa diterapkan untuk mengatasi persoalan yang sama di seluruh Indonesia.
Mula-mula saya minta diantar ke sebuah rumah pelanggan di Tenggilis Mejoyo yang lampunya mati 10 jam itu. Saya ingin menelusuri persoalan dari yang paling bawah sampai yang paling pokok. Di rumah pelanggan tersebut, saya minta ditunjukkan sistem kabelnya. Lalu, ke mana alirannya. Terus, ke mana lagi dan ke mana lagi. Sampai akhirnya ke gardu induk.
Kabel listrik di sebuah rumah selalu berasal dari satu tiang yang ada di depan rumah tersebut. Itulah yang disebut tiang TR (tegangan rendah). Saya menyebutnya tiang pembagi. Satu tiang seperti itu melayani 6 atau 8 rumah.
Di ujung atas tiang TR tersebut ada 8 buah konektor. Masing-masing untuk satu rumah. Kalau misalnya ada kejadian hanya satu rumah yang mati lampu, persoalannya ada di konektor itu. Biasanya konektor ke rumah tersebut terbakar.
Penyebab terbakarnya konektor adalah karena ”gigitan” konektornya merenggang. Karena renggang itulah, konektornya panas sekali, lalu terbakar. Mengapa ”gigitan” konektor tersebut merenggang? Ini umumnya disebabkan saat pemasangannya dulu kurang teliti dan kurang sempurna. Dalam satu kawasan setingkat kira-kira satu kecamatan, terjadi kebakaran konektor rata-rata 10 kali sehari.
Karena pemasangan konektor itu dilakukan kontraktor, persoalan pokoknya adalah: bagaimana PLN harus mengontrol para kontraktor.
Dari tiang-tiang TR tersebut, saya terus menelusuri dari mana kabelnya berasal. Maka, penelusuran sampailah ke trafo 200 kva. Yakni, trafo berbentuk kotak besi yang biasanya dipasang di pinggir jalan, di sela-sela dua tiang yang berjarak sekitar 1,5 meter. Trafonya sendiri ada di bagian atas, sedangkan kotak besinya itu instalasinya.
Satu trafo tersebut melayani sekitar 30 sampai 50 tiang TR. Dalam hal kejadian mati lampu 10 jam di Tenggilis Mejoyo tersebut, penyebabnya adalah rusaknya trafo 200 kva itu. Yakni, sebuah trafo di pinggir jalan di dekat sebuah sekolahan.
Mengapa trafo itu rusak? Lama saya berada di trafo tersebut. Tapi, tidak berhasil mendapat jawaban. Trafo yang rusak itu sudah dilepas dan sudah dibawa ke gudang di Sukolilo. Saya hanya bisa melihat trafo yang baru yang sudah terpasang. Apakah trafo yang dipasang itu sama dengan trafo yang rusak?
Dari segi spesifikasinya sama. Tapi, mereknya berbeda. Oh, saya tahu bahwa ada merek-merek tertentu yang kualitasnya lebih rendah daripada merek-merek lainnya. Ini persoalan mendasar yang harus dipecahkan kelak: bagaimana memilih trafo yang baik.
Tapi, mengapa mengganti trafo seperti itu memerlukan waktu mati lampu sampai 10 jam? Bukankah cukup 3 jam? Ternyata, ada persoalan lain: PLN baru tahu kawasan itu mati lampu setelah pukul 19.00! Padahal, matinya sudah sejak pukul 15.00. Berarti, ketika mati lampu sudah berlangsung 4 jam, belum ada yang tahu. Seperti orang stroke yang mati di dalam kamar mandi saja.
PLN baru tahu bahwa ada kematian mendadak itu setelah seorang warga Tenggilis mengadu ke kantor PLN pukul 19.00. Alangkah mengecewakannya. Sudah mati selama 4 jam, PLN belum tahu. Warga tentu mengira PLN sudah tahu. Sedangkan PLN mengira sepanjang tidak ada warga yang mengadu, berarti tidak ada yang mati. Oh, saya tahu ada masalah berat di sini: masalah komunikasi dan sistem komunikasinya.
Maka, saya bertanya ke petugas PLN yang mendampingi saya. Yakni, Ir Mukhtar yang lulusan Fakultas Elektro Unhas: Mungkinkah di dalam kotak trafo tersebut dipasangi komputer, sehingga kalau trafonya rusak PLN otomatis tahu? Sehingga tidak perlu menunggu ada warga yang mengadu?
Ir Mukhtar memang bukan orang yang harus bertanggung jawab di kawasan tersebut. Wilayah tugasnya di Sidoarjo. Tapi, hari itu dialah yang bisa mendampingi saya. Jawab Mukhtar ternyata mengejutkan saya. Petugas PLN tersebut punya solusi yang lebih sederhana. Sebuah solusi yang dia sudah tahu, tapi tidak berdaya untuk melakukannya.
Dia mengusulkan agar di luar kotak trafo 200 kva tersebut dipasangi meteran digital. Tujuannya banyak: bisa memberi sinyal kepada bagian pengaduan PLN, bisa melaporkan kondisi trafo setiap saat, dan bisa pula mengontrol beban di wilayah itu, sehingga bisa langsung tahu kalau terjadi kasus kelebihan beban. Oh, saya tahu: Ada teknologi yang bisa mengatasi kematian yang diketahui orang seperti itu.
Mengapa sebuah trafo hanya melayani 50-an tiang konektor? Tidak bisakah beberapa trafo 200 kva itu digabung ke sebuah trafo yang lebih besar? Agar jumlah trafo tidak terlalu banyak, sehingga mengontrolnya lebih mudah? Ini menarik untuk diperdebatkan. Tapi, saya memaklumi mengapa trafo kecil banyak dipakai.
Trafo kecil itu mula-mula diperlukan karena dulunya perumahan di situ masih sedikit. Kian lama rumahnya kian banyak. Trafo kecil tersebut tidak cukup lagi. Lalu, dibangun trafo kecil lainnya tidak jauh dari situ. Tapi, jumlah rumah masih terus bertambah lagi. Maka, trafo pun ditambah lagi, ditambah lagi. Begitulah seterusnya, sehingga terlalu banyak trafo kecil di mana-mana.
Terlalu banyaknya trafo kecil 200 kva tersebut membuat kontrol dan pemeliharaannya kian sulit. Rupanya, karena itu kontrol dan pemeliharaan trafo tersebut diserahkan ke pihak swasta. Outsourcing, istilahnya. Apakah pemeliharaan trafo itu cukup? Petugas PLN yang mendampingi saya mengatakan sudah cukup. Swasta yang melakukan pekerjaan itu selalu melaporkan datanya.
Hanya, saya agak kaget ketika diberi tahu bahwa kontrol yang disebutkan cukup itu ternyata ini: enam bulan sekali. Itulah kontrak yang dilakukan antara PLN dengan swasta yang melakukan tugas kontrol tersebut. Oh, saya tahu: Saya harus belajar banyak lagi apakah kontrol trafo setahun dua kali itu cukup? Apakah laporan hasil kontrol itu juga dikontrol dengan baik?
Saya lalu minta diantar ke gudang yang dipakai menyimpan trafo rusak tersebut. Letaknya cukup jauh, tapi penelusuran ini harus sampai pada ujungnya. Di gudang itulah saya melihat bahwa trafo yang rusak tersebut masih teronggok di luar gudang. Masih belum dianalisis apa penyebab kerusakannya. Mungkin juga tidak pernah dianalisis.
Trafo itu dari jenis/merek yang kurang disukai oleh para operator PLN karena tidak sebagus trafo yang lain. Tapi, dia tidak berdaya untuk tidak memakainya karena urusan memilih trafo bukan kewenangannya.
Dari penelusuran kabel-kabel mulai rumah pelanggan sampai gardu induk tersebut, saya benar-benar belajar sistem distribusi listrik yang sangat mendasar. Terlalu banyak ide untuk mengubahnya. Tapi, saya mengambil kesimpulan tetap lebih baik kalau saya memprioritaskan pembenahan hulu-hulunya dulu. Maafkan saya. Pembenahan di hilir tidak akan ada artinya (bahkan membuat frustrasi saja) kalau hulunya belum dibenahi dulu. Begitulah urutan berpikir dan bertindaknya. (*)
Sumber : Jawapos