?Sudah hampir 69 tahun Indonesia Merdeka bangsa kita belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 14/2009 Tentang Rumah Sakit. Apalagi Ratusan Rumah Sakit Terancam Bangkrut, seperti menjadi pemberitaan nasional, 23 Februari 2014.
Ambang kebangkrutan ratusan Rumah Sakit (RS) itu ditengarai karena seretnya pembayaran klaim RS melalui BPJS Kesehatan. Akibatnya, satu persatu RS mulai mengeluhkan buruknya pencairan klaim dalam program kesehatan pemerintah. Mulai program lama jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), jaminan kesehatan daerah (jamkesda), hingga program kesehatan terbaru, jaminan kesehatan nasional (JKN).
Pada gilirannya masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan di RS yang menuai dampak negatifnya. Hal ini membuktikan bahwa para pemegang kebijakan di bidang anggaran dan pelayanan publik tidak serius dalam mengelola Negara untuk menjaga kesehatan masyarakat. Celakanya, sejak era otonomi daerah, RS difungsikan Pemerintah Kota/Kabupaten dan Provinsi sebagai ‘mesin pencetak uang’ sumber Pandapatan Asli Daerah (PAD).
Sebagai salah satu sumber PAD maka RS Daerah selalu membutuhkan jumlah pasien dengan jumlah yang banyak. Dengan harapan, makin banyak jumlah pasiennya, maka makin banyak pendapatan RS. Semakin banyak pendapatan RS berarti menguntungkan bagi kontribusi bagi PAD. Dan, para pemegang kebijakan di pemerintahan kita rupanya merasa rugi jika masyarakatnya sehat walafiat yang dapat mengakibatkan RS-nya kosong pasien sehingga tidak ada kontribusinya bagi PAD Kota/kabupaten/Provinsi.
Karena pelayanan RS beroperientasi kontribusi PAD maka pelayanannya mengabaikan asas dan tujuan penyelengaraannya. Sehingga asas penyelenggaraan RS dalam UU No.14/2009 Tentang Rumah Sakit yang meneegaskan: Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan pembangunan RS pun tidak steril dari praktik korupsi.
Akibatnya empat tujuan RS: Pertama, mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; Kedua, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; Ketiga, meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan Keempat, memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit, masih jauh dari harapan masyarakat.
Manakala semua RS mampu menegakkan asas dan tujuannya itu maka RS akan mampu menunaikan tugasnya berupa memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Tapi pertanyaannya: karena apa kondisi RS kita justru semakin memprihatinkan, bahkan terancam bangkrut? Hal ini bisa dijadikan salah satu bukti bahwa para penyelenggara Negara kita belum punya komitmen sunguh-sungguh dalam menjalankan amanat UUD 1945. Karena 32 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
‘Layak’ dalam artian bukan sekedar pantas atau patut tapi ‘layak’ dalam artian mulia atau terhormat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional). Standar kelayakan kesehatan RS bukan hanya ditentukan berdasarkan persepsi para pengelola RS yang lebih bersifat subyektif tapi berdasarkan ukuran-ukuran pelayanan paripurna seperti diamanatkan oleh UU No. 14/2009 Tentang Rumah Sakit.
Umumnya standar pelayanan kesehatan RS sangat tergantung pada kelas rawat inap yang diminta pasien. Manakala rawat inap yang dipilih pasien adalah pavilium maka pasien akan mendapatkan perawatan yang paripurna. Tapi manakala sang pasien memilih kelas ekonomi maka akan mendapatkan pelayanan pelayanan buruk. Jadi RS umumnya mengeterapkan standar jaminan pelayanan kesehatan secara diskriminatif kepada para pasiennya.
Dari hasil pengamatan saya dalam Pebruari 2014, tidak jarang pihak manajemen RS Pemerintah di Provinsi Jawa Timur ternyata melalui perawat dan para dokter menawarkan jaminan pelayanan kesehatan paripurna di kelas pavilium. Bahkan menganjurkan para pasien kelas ekonomi beralih kelas, ke kelas pavilium jika pasien ingin mendapatkan standar pelayanan jaminan kesehatan paripurna. Bentuk pelayanan jaminan kesehatan seperti ini membuktikan bahwa RS di Pemerintah Provinsi Jatim diskriminatif.
Apakah karena seretnya pembayaran klaim RS ke BPJS Kesehatan sehingga para manajemen RS sengaja melupakan terhadap asas dan tujuan penyelenggaraan RS? Apakah dibenarkan standar pelayanan jaminan kesehatan secara paripurna hanya eksklusif bagi pasien kelas pavilium? Namun bagi pasien yang rawat inap di kamar kelas ekonomi tidak berhak mendapatkan standar pelayanan jaminan kesehatan secara paripurna.
Perbedaan kenyamanan kamar pavilium wajar jika dibedakan dengan fasilitas kamar kelas ekonomi. Namun tidak wajar jika manajemen RS mengeterapkan perbedaan standar pelayanan jaminan kesehatan bagi para pasiennya. Bagi pasien RS kelas ekonomi mempunyai hak yang sama dengan pasien kelas Pavilium dalam menerima standar pelayanan jaminan kesehatannya. Pemerintah Kota/Kabupaten/Provinsi seharusnya ikut bertanggungjawab mengawasi terhadap penurunan mutu pelayanan jaminan kesehatan di RS di wilayahnya.
Jangan sampai masyarakat yang telah susah payah membayar iuran JKN seumur hidup tiap bulannya Kelas I sebesar Rp, 59.000,- Kelas II sebesar Rp. 42.500,- dan Kelas III sebesar Rp. 25.500,- (belum terhitung jika ada kenaikan tarif iuran di kemudian hari) tapi tidak mendapatkan pelayanan paripurna dari RS! Apalagi sampai iuran masyarakat itu dikorupsi!
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)
Jawa Timur