Sebuah Catatan Buat Menhub RI
Permenhub RI. No. 26/2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang berlaku sejak 1 Juli 2017 (Jawa Pos, 2/7/2017) sama dengan mengibiri hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan taksi online dengan tarif terjangkau (murah). Padahal taksi online telah mampu mengubah perilaku konsumen untuk tidak mengunakan kendaraan pribadi sebagai biang kemacetan di jalan raya.
Kehadiran taksi online merupakan keniscayaan dari kebutuhan konsumen terhadap angkutan umum yang selama ini ekspektasinya tidak diakomodasi oleh taksi konvensional. Terutama tentang tarif taksi konvensional yang terlalu mahal. Karena sudah terjadi penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar tiga kali, namun operator taksi konvensional tidak bersedia menurunkan tarifnya sehingga beban ekonomi konsumen untuk kebutuhan angkutan umum tetap semakin tinggi. Akibatnya konsumen beralih ke taksi online yang dinilai lebih ekonomis dan efektif.
Permenhub RI. itu mengatur tarif batas bawah Rp. 3.500,- /km dan batas atas Rp. Rp. 6.000,-/km untuk taksi online yang beroperasi di wilayah I yaitu Sumatera, Jawa dan Bali. Sedangkan tarif taksi online yang wilayah operasionalnya di wilayah II yaitu di luar tiga pulau itu yaitu di mulai dari Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur hingga Papua tarif batas bawah sebesar Rp. 3.700,-/km dan tarif batas atasnya Rp. 6.500,-/km. Permenhub RI. ini mengakibatkan konsumen tidak lagi bisa berharap mendapatkan pilihan tarif taksi yang lebih murah.
Apalagi, selain regulasi tentang tarif batas bawah dan batas atas itu akan diberlakukan aturan baru lagi tentang kuota ketersediaan taksi online di tiap-tiap wilayah operasionalnya. Pengaturan kouta ini tentunya akan berdampak negatif bagi pemesanan konsumen terhadap taksi online ketika permintaan memuncak (peak session) karena akan mengurangi kualitas ketepatan waktu penjemputan di lokasi pemesanan konsumen yang selama ini oleh Aplikator dipatok paling lama enam menit taksi online harus berada di lokasi penjemputan konsumen.
Head of Publik Policy and Government Affairs for Indonesia, Uber.com, John Colombo, dalam suatu diskusi di Surabaya yang diselenggarkan oleh Dishub Provinsi Jatim dengan Topik “Taksi Online Distop Atau Dilanjut?” pada April 2017, merasa heran ketika mengetahui rencana pemerintah akan menerbitkan regulasi itu. Ia seolah-olah ingin bertanya, karena apa rakyat Indonesia tidak diperbolehkan oleh pemerintahnya untuk memperoleh pelayanan taksi online dengan tarif murah, pelayanan yang efektif dan efisien? Dan karena apa seolah-oleh Pemerintah Indonesia membatasi akses perluasan tenaga kerja untuk menjadi pengemudi taksi online secara mandiri?
Kehadiran taksi online yang menurut John Colombo sejak tahun 2014 dan telah berkembang di 74 negara itu sangat membantu bagi masyarakat konsumen secara global. Melalui aplikasi pemesanan taksi online telah membantu peningkatan jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia. Demikian pula bagi orang Indonesia yang pergi keluar negeri tidak perlu khawatir untuk tidak mendapatkan pelayanan taksi online dengan berbagai macam layanan bahasa.
Kelebihan aplikasi pemesanan taksi online adalah konsumen langsung mendapatkan informasi nama kendaraan, nomor kendaraan, nama pengemudi, tarif yang harus dibayar. Kalau konsumen keberatan bisa langsung membatalkannya tampa dikenakan charge. Beda dengan taksi konvensional, konsumen membatalkan pemesanan dikenakan charge pembatalan, dan kalau tidak batal dikenakan biaya tambahan “buka pintu”. Padahal pintu mobil dibuka sendiri oleh konsumen. Karenanya, kehadiran taksi online dinilai konsumen lebih mengakomodir ekspektasi konsumen dibanding pelayanan taksi konvensional pada umumnya.
Paling tidak, ada tiga ekspektasi konsumen angkutan umum yang mampu diakomodasi oleh taksi online. Pertama, kepastian biaya / tarif yang kompetitif. Taksi online memberikan kepastian tarif yang sangat kompetitif dibanding taksi konvensional. Bahkan konsumen perdana mendapatkan apresiasi dari aplikator berupa potongan harga sangat besar. Tidak khawatir kena macet di tengah jalan. Pembayarannya pun bisa via online. Sehingga konsumen tidak ribet meminta uang pengembaliannya. Bukti pembayarannya bisa langsung diterima konsumen via akses aplikasi taksi online.
Anehnya, setelah taksi online hadir di tengah-tengah masyarakat, maka semua taksi konvensional sekarang membuka akses pelayanan via online dengan menawarkan tarif yang hampir sama dengan tarif taksi online. Ini membutikan bahwa operator taksi konvensional menyadari bahwa tarif taksi konvensional yang berlaku selama ini terlalu mahal. Apalagi dalam Rezim Joko Widodo telah menurunkan harga BBM sampai tiga kali. Bararti operasional taksi konvensional selama ini telah meruap keuntungan yang sangat melimpah dari konsumen. Penurunan tarif taksi konvensional baru terjadi setelah konsumen dihadapkan pada adanya pilihan tarif pelayanan taksi online.
Eksepektasi konsumen yang kedua adalah tepat waktu. Kedatangan taksi online di lokasi pemesanan dinilai konsumen tepat waktu. Dalam hitungan kurang dari enam menit taksi dipastikan hadir di depan konsumen. Melewati waktu enam menit, konsumen bisa membatalkannya. Hal ini berbeda dengan taksi konvensional yang tidak jelas kepastian waktu kedatangannya. Tidak terukur sampai berapa lama ketidak-datangan taksi konvensional bisa dibatalkan? Bahkan konsumen bisa telepon via operator berkali-kali tampa ada jawaban kepastiannya.
Ekspektasi konsumen yang ketiga adalah tepat mutu pelayanan. Standarisasi mutu pelayanan produk barang dan/jasa yang diperdagangkan atau dipasarkan telah diatur dalam UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK Pasal 8 ayat (1) huruf menegaskan: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemenhub RI. seharusnya mengatur tentang standarisasi taksi online tentang mutu pelayanannya yang berkenaan dengan kompetensi pengemdi, kelaikan operasional kendaraan dengan batasan umur kendaraan maksimal lima tahun karena UU 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum mengatur umur kendaraan, bukan mengatur masalah tarif taksi online.
Tarif taksi online adalah termasuk tarif non ekonomi yang seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar sama dengan tarif non ekonomi bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) dan tarif non ekonomi bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang selama ini diserahkan ke mekanisme pasar, tidak diatur oleh pemerintah. Padahal konsumen bus AKDP dan AKAP adalah terdiri dari masyarakat konsumen kelas ekonomi lemah. Tidak memiliki pilihan kendaraan pribadi. Tapi karena terpaksa naik bus AKDP dan AKAP non ekonomi. Bandingkan dengan konsumen taksi online yang lebih banyak dikonsumsi oleh konsumen menengah ke atas di perkotaan.
Oleh Karenanya, Pemerintah perlu diingatkan oleh publik bahwa Permenhub RI. No. 26/2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek berpotensi melanggar UU No. 15/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan melanggar UUPK. Masyarakat konsumen secara personal, berkelompok maupun melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) bisa menjadi pelapor melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan bisa menggugat karena Menhub RI. dapat diduga memperlakukan diskriminatif terhadap konsumen bus AKDP dan AKAP.
Oleh: M. Said Sutomo – Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur