Dulu semangat heroik bangsa kita mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara dengan pekik Merdeka atau Mati dan takbir Allahu Akbar! Namun belakangan banyak pekik Merdeka yang tak jelas arahnya telah kehilangan nilai magisnya. Bagitu juga pekik takbir Allahu Akbar telah kehilangan makna transendentalnya. Bandingkan dengan ketika kita mendengarkan kembali pekik Merdeka yang dipekikkan Bung Karno dan pekik takbir Allahu Akbar yang ditakbirkan Bung Tomo maka kita dibuatnya merinding.
Tahun 2014 adalah tahun yang menentukan masa depan bangsa kita lima tahun ke depan. Apakah masa depan bangsa kita lebih baik yaitu merdeka dari koruptor atau tidak, sangat tergantung pada output pesta demokrasi tahun 2014 nanti. Pengalaman masa lalu seharusnya menjadi pijakan perubahan ke arah lebih baik untuk masa kini, masa depan, dan seterusnya. Jika tidak, berarti bangsa kita tak pernah mengalami kemajuan.
Beberapa media cetak maupun elektronik pada akhir tahun 2013 mengulas Operasi Tangkap Tangan Anggota DPRD Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng). Ketua bersama lima anggota DPRD lainnya ditangkap polisi setempat dalam operasi tangkap tangan (OTT) layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rupanya praktik sogo-menyogok di kalangan anggota DPRD tak akan pernah behenti. Praktik serupa ke depan diyakini semakin merajalela untuk modal Pemilu 2014 yang butuh dana tidak sedikit. Antrian untuk menjadi pejabat publik wakil rakyat telah terpampang di mana-mana.
Magnet Jabatan Publik.
Rupanya telah menjadi tren, menggarong uang negara untuk menggarong lagi uang negara lebih besar dengan cara merebut atau mempertahankan jabatan publik. Kekuasaan bukan lagi untuk kepentingan produktif untuk kepentingan publik atau rakyat, tapi hanya untuk kepentingan konsumtif korupsi. Visi dan Misi yang diusung hanya sebatas jargon politik bukan lagi menjadi tuntunan kebijakan operasional teknis dari jabatan publik. Akibatnya, ekspektasi publik semakin jauh dari penerapan kebijakan publik yang melekat pada diri pejabat publik. Padahal publik memilih mereka menjadi pejabat publik agar kepentingan publik selalu melekat pada dirinya.
Kata-kata bijak orang tua kita yang mengatakan: jika ingin jadi orang kaya, jadilah pengusaha, sudah tidak berlaku lagi. Pemeo yang berlaku sekarang adalah: jika ingin jadi orang kaya, jadilah politisi! Jika ingin jadi orang kaya raya, jadilah politisi merangkap pengusaha atau jadilah Pegawai Negeri Sipil (PNS) merangkap pengusaha. Meskipun gaji jabatan publik itu relatif kecil tapi para pengantri jabatan publik dan pendaftar PNS terus membludak bahkan rela menyogok berapa pun nilainya.
Begitu juga, gaji Wali Kota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden masih tergolong relatif kecil jika dibandingkan dengan gaji para profesional di BUMN/BUMD dan swasta. Tapi jabatan publik itu memiliki magnet sangat kuat sehingga orang rela berkorban dengan menanggalkan jabatan apa saja dari sebelumnya. Bahkan siap menghamburkan uangnya berapa pun jumlahnya demi menduduki jabatan publik. Hal serupa juga akan terjadi dalam perebutan perolehan suara untuk mendapat jatah kursi jabatan publik di DPRD Kota/Kabupaten/Provinsi dan DPRRI maupun kursi Presiden Tahun 2014-2019.
Apakah memang nilai demokrasi di negeri kita mahal? Sebenarnya bukan nilai demokrasinya yang mahal tapi jabatan-jabatan publik itu mempunyai magnet sangat kuat sehingga orang rela investasi politik berapa pun nilainya. Dengan demikian ungkapan di kalangan PNS dan pejabat publik: Gaji kecil itu hanya pendapatan sampingan tapi penghasilan pokoknya adalah “copetannya” bukan isapan jempol.
Koruptor Masih Kuat.
Majalah TEMPO, Edisi Khusus Tokoh Pilihan Sang Pembocor, 23-29 Desember 2013, mengupas perlunya negara memberikan insentif bagi para pembocor praktik korupsi pejabat publik. Insentif bagi para pembocor tentunya bukan hanya untuk para pejabat publik tapi juga bagi para pencopet kecil atau orang-orang yang sakit hati yang membongkar korupsi besar. Terminology hukum menyebutnya justice collaborator atau saksi pelapor yang bersedia bekerja sama. Selain itu ada pula whistleblower atau peniup peluit yang tak terlibat kasus tapi mengambil risiko menjadi pembongkar skandal.
Namun “kolaborasi bawah tanah” para koruptor di kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif di negeri kita masih kuat. Buktinya para pembocor korupsi di pengadilan malah dihukum berat oleh putusan para hakim. Cotohnya, Vincentius Amin Sutanto, pembocor penggelapan pajak Asian Agri senilai Rp. 1,3 triliun dihukum 11 tahun penjara, jauh lebih tinggi daripada Suwir Laut, Manajer Pajak Asian Agri hanya dihukum percobaan dua tahun. Agus Condro Prayitno, anggota DPRRI pembongkar suap cek pelawat, dihukum sama beratnya dengan 29 rekan sekerja yang ia laporkan. Masih banyak para pembocor korupsi lainnya di negeri kita justru mendapatkan hukuman lebih berat, kehilangan pekerjaan dan diancam dibunuh.
Padahal di negeri kapitalis yang seringkali dikecam orang seperti Amerika Serikat (AS), mengeterapkan kebijakan melalui Badan Pengawas Keuangan (SEC) bersama Direktorat Pajak mengizinkan memberikan hadiah hingga 30 persen dari nilai uang negara yang diselamatkan. Bagi warga sipil yang bersedia membantu negara menginvestigasi korupsi akan mendapat 15-25 persen dari uang negara yang bisa diselamatkan. Kebijakan ini membuat banyak aktivis dan pengacra aktif menelisik korupsi. Nah kapan di negeri kita yang menentang kapitalis dan telah mengganyang komunis ini mempunyai kebijakan cerdas seperti itu?
Banyak praktik korupsi dan gratifikasi dilakukan di negeri kita dengan cara melegalkan melalui undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Ibarat produk makanan dan minuman haram dilabeli halal. Contohnya, jasa pungutan pajak (japung) sebesar lima persen yang dinikmati para aksekutif dan legislatif, bahkan untuk setoran ke yudikatif. Volume pendapatan pajak negara dan pajak daerah yang seharusnya seratus persen masuk ke kas negara dan kas daerah menjadi berkurang. Pada gilirannya pajak yang seharusnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tak tercapai.
Karenanya gerakan laten para koruptor masih besar jumlahnya dan masih kuat posisinya dibanding gerakan anti korupsi yang muncul di permukaan. Manakala kita lengah, jangan heran pada akhirnya pekik Merdeka dan pekik takbir Allahu Akbar hanya dimonopoli para koruptor! Pada saat yang bersamaan kita kesulitan membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Nah, saatnya pada Pemilu 2014 kita harus selektif memilih calon pejabat publik agar Merdeka dari Koruptor!
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen