Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat sebanyak 33 persen kapal penyeberangan berusia antara 26 hingga 35 tahun. Kapal-kapal itu dinilai sudah tidak layak beroperasi.
“Kapal yang beroperasi sekitar 12 persen berusia di atas 35 tahun, sedangkan usia kapal di bawah 15 tahun berkisar 3 persen,” kata pengurus harian YLKI Sudaryatmo di Jakarta, Kamis (4/9/2012).
Ia menilai, faktor kelaikan kapal sangat krusial di lintas penyeberangan Merak-Bakauheni, menyusul tabrakan KMP Bahuga Jaya dan kapal tanker Norgas pada 26 September lalu.
“Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting, terutama untuk faktor kelaikan kapal. Apalagi, banyak kapal feri yang beroperasi di lintasan penyeberangan Merak-Bakauheni sudah berumur tua. Karena ini menyangkut nyawa manusia yang menjadi penumpang moda angkutan massal tersebut,” paparnya.
Sudaryatmo mengakui bahwa usia kapal memang bukan faktor penentu utama dalam hal kelaikan. Namun, seharusnya menjadi hal krusial yang harus diperhatikan, baik oleh regulator, operator, dan pihak terkait lainnya.
“Karenanya maintenance kapal itu sangat penting, kapan harus dilakukan perawatan. Terutama laporannya, bagaimana sertifikat kelaikan itu diberikan. Sertifikasi itu harus bisa dipertanggungjawabkan,”jelasnya.
Data dari berbagai sumber seperti Lloyd’s Register of Shipping Confidential Index” menyebutkan KMP Bahuga Jaya dibuat 1972 di Norwegia dan pernah enam kali berganti nama yakni Bonanza 1980, Benchihigua 1994, Baja Mar 2001, Blessed Mother 2003, The Blessed Mother 2007 dan Tri Star 8 2008.
Namun, saat dilaporkan ke otoritas pelayaran di Indonesia disebut-sebut buatan 1992. Bahkan, Menteri Perhubungan EE Mangindaan menjelaskan 52 persen dari 41 kapal di lintas penyeberangan Merak-Bakauheni berusia 15-25 tahun.
Untuk penyelenggaraan aspek kelaiklautan kapal, lanjut Mangindaan, memang menjadi tanggung jawab Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.
Sedangkan, pemenuhan standar pelayanan minimal maupun aspek kelaiklautan kapal berada di Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. “Untuk aspek operasional, pengaturan dan pengendalian di pelabuhan di PT ASDP, pengaturan jadwal kapal di Ditjen Hubdat dan Persetujuan Berlayar di Syahbandar,” ungkapnya.
Selain usia dan kelaikan kapal, Sudaryatmo juga menyoroti dari keberadaan operator kapal terkait kelengkapan data manifest penumpang. “Hampir setiap kecelakaan pelayaran, jumlah korban dengan manifest tak pernah matching. Ada jenazah, tetapi nama tak tercantum di manifest,”terangnya.
Sebaliknya, ada nama tetapi korban tak ditemukan. Bahkan, kerap kali penumpang yang nekat tak membeli karcis naik ke atas kapal, alih-alih bisa membayar di atas kapal lewat oknum petugas.
PT Atosim Pelayaran Lampung (APL) selaku operator KMP Bahuga Jaya harus bisa menjelaskan terkait manifes penumpang kapal feri tersebut. Hal itu karena, kredibilitas operator juga menjadi perhatian, takni harus bisa mengedepankan pelayanan yang baik, tidak hanya mencari keuntungan semata.
“Operator adalah lapis pertama dalam pengurusan manifest tiket ini. Bagaimana pendistribusian penjualan tiketnya, hingga daftar nama penumpang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini kan menyangkut aturan dari muatan kapal itu sendiri, sebelum adpel/syahbandar melakukan pengecekan,” terangnya.
Menurut Sudaryatmo, operator kapal bertanggung jawab penuh terhadap muatan yang diangkutnya, termasuk penumpang. “Penumpang yang sudah membayar tiket, tentu mempunyai hak-hak yang harus dilindungi,”ucapnya.
Ia menjelaskan pendataan penumpang pejalan kaki menjadi fungsi petugas sesuai identitas yang diberikan ke komputer petugas loket. Sedangkan untuk pendataan penumpang dalam kendaraan, pendataan dilakukan oleh awak kendaraan sesuai blangko isian yang telah dibagikan dan diserahkan ke petugas pelayaran ketika naik kapal. “Petugas loket di toll gate hanya meng-input data sopir dan nomor kendaraan,” katanya.
Sumber : Okezone