Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur tak habis mengerti obat sirup anak yang beredar di toko-toko obat dan apotek, diramaikan setelah ada dugaan penyakit gagal ginjal akut misterius. Bahkan, baru bereaksi setelah memakan korban 206 anak-anak.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua YLKP Jatim Said Sutomo, yang dihubungi Surabaya Pagi, Kamis (20/10/2022) kemarin sore.
Menurut Said Sutomo, pemerintah yang baru bereaksi karena pengawasan pra-pasar terhadap barang obat-obatan sangat lemah.
“Obat-obatan sebelum dipasarkan khan harus melalui pemeriksaan Laboratorium Kementerian Kesehatan, BPOM, hingga Dinas Kesehatan Provinsi sampai Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Nah disini, pengawasannya sangat lemah,” jelas Said Sutomo, pria yang juga anggota Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI.
Bahkan diduga, lanjut Said, kemungkinan tidak pernah dilakukan pengawasan terhadap obat-obatan yang masuk. “Lha ini setelah ada korban anak-anak karena mengkonsumsi obat sirup, sampai ada yang meninggal, semua orang baru berteriak,” katanya.
“Bukan itu saja. Peredaran obat batuk cair untuk anak anak, sepengetahuan saya diimpor dari India. Nah sebelum diimpor dan dipasarkan, seharusnya diperiksa dan teliti lebih dulu oleh BPOM dan Laboratorium Kemenkes. Kenapa baru sekarang,” lanjut Said.
Artinya, Ketua YLPK Jatim ini menilai, jika ternyata ada obat-obatan cair yang beredar dan memakan korban jiwa. Proses pemeriksaan dan pengawasannya tidak berjalan dengan baik.
Bahkan, patut diduga, para pemeriksa dan pengawasnya sudah dibawah kendali atau pengaruh para distributor dan importir obat berbahaya itu. “Diduga, mereka sudah dikondisikan lebih dulu,” katanya.
“Usut dan lakukan audit proses produksi, penyimpanan, pemasaran dan distribusinya secara detail, termasuk jaminan standar mutunya. Dimana letak kesalahannya? Usut dari hulu proses bisnisnya sampai hilir, di tangan konsumen,” lanjutnya.
Untuk itu, untuk mencegah timbulnya korban anak-anak, Said meminta pemerintah jangan setengah-setengah dalam menindak peredaran obat sirup dan cair yang diduga membuat gagal ginjal akut ini.
“Pemerintah harus ditarik semua dari pasar. Jangan hanya sementara. Tetapi ditarik, lalu evaluasi dan audit investigasi. Ini demi keamanan konsumen. Jangan sampai anak cucu kita diracuni,” kata Said.
Product Recalling
Hal senada juga diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Menurut Tulus, pihak Kemenkes RI dan BPOM RI perlu memberikan kebijakan lebih tegas terkait kaitan obat sirup dengan kasus gangguan ginjal akut misterius.
“Kemenkes dan Badan POM tampak ambigu dengan langkah kebijakan yang diambil. Sebab sikap dan pernyataan Kemenkes kurang tegas, karena hanya meminta masyarakat tidak mengonsumsi obat panas cair berupa sirup yang diduga menjadi penyebab,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Surabaya Pagi, Kamis (20/10/2022).
“Mestinya Kemenkes juga melakukan recalling (menarik) dari pasaran, terhadap produk obat panas atau demam untuk anak dalam bentuk cair atau sirup tersebut,” imbuhnya.
Apalagi, dalam beberapa sebelum kasus di Indonesia, ada temuan juga di Gambia, bahwa ada 60 anak-anak meninggal dengan kondisi cedera ginjal. 60 anak Gambia ini meninggal diduga setelah konsumsi obat batuk cair produksi India. Tetapi BPOM menyebut, produk obat-obatan di Gambia tidak beredar di Indonesia.
“Yang menjadi pertanyaan, jika obat yg beredar di Gambia tidak beredar di Indonesia, tetapi kenapa kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia sangat tinggi (200-an) kasus dan bahkan banyak yang meninggal? Ini menjadi hal yang sangat aneh,” beber Tulus lebih lanjut.
“YLKI meminta pemerintah bergerak cepat dan sinergis dalam menangani kasus ini demi memberikan perlindungan yang menyeluruh pada masyarakat, khususnya anak anak,” pungkasnya.
Respon IDAI Jatim
Sedangkan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Timur tidak bisa memastikan bahwa kasus gagal ginjal akut disebabkan karena obat sirup yang beredar. Hanya saja, Ketua IDAI Jatim, dr Sjamsul Arief Sp.A (K) menduga, ada kadar Etilen Glicol dan Dietilene Glicol di dalam obat sirup tersebut.
“Itu yang sementara dicurigai, Ethylene Glycol dan Diethylene Glycol. Zat-zat ini biasanya mencemari zat pelarut yang dipakai untuk obat sirup. BPOM membatasi penggunaannya tidak boleh lebih dari 0,1 ml gram. Cuma ini belum jelas dari zat-zat itu atau bukan, hanya agar meningkatkan kewaspadaan kita saja Kemenkes itu. Karena di Gambia itu kok penyebabnya Ethylene Glycol nah kita harus waspada,” kata dr Sjamsul, Kamis (20/10/2022).
Hanya saja, IDAI Jatim menjelaskan, gagal ginjal akut sudah ditemukan sejak bulan Juni hingga Oktober 2022. “Kasusnya mulai bulan Juni, Juli, Agustus, September. Dan Oktober ini mulai agak menurun. Untuk di Jatim sendiri, kasusnya ada di Surabaya dan Malang. dari 24 kasus, 15 anak dirawat di Surabaya dan 9 anak di Malang,” lanjut dr. Sjamsul.
“Jadi di Malang itu kasusnya 9 anak, meninggal 3 anak. Di Surabaya kasusnya 15 anak, meninggal 10 anak. Usia balita yang paling banyak, yang meninggal mayoritas usia 1-5 tahun,” jelasnya.
Dia menuturkan ketika anak sakit seperti panas, batuk, pilek, muntah, dan diare yang harus diwaspadai oleh orang tua adalah jumlah produksi urine pada anak tersebut.
“Yang harus diwaspadai dalam penyakit ini adalah monitoring produksi urine. Itu yang harus diperhatikan oleh orang tua, jadi dilihat kalau balita itu masih pakai pampers, setiap 6 jam itu harus dievaluasi. Isi urine itu adalah setengah ml/kg/jam. Jadi kalau misalnya 10 kg dalam 6 jam itu kurang lebih 30 ml jumlah urinenya, harusnya cukup banyak isi pampersnya,” terangnya.
Penjelasan BPOM
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengungkap perkembangan terkait obat sirup yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
BPOM telah melakukan pelaksanaan sampling dan pengujian bertahap terhadap bentukan obat sirup.
Sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, cemaran EG dan DEG memiliki ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI). Dalam hal ini, ambang batasnya sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.
Sejauh ini, BPOM telah melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG. Dari hasil sampling dan pengujian, ditemukan beberapa produk yang mengandung cemaran EG yang melebihi ambang batas.
“Hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk,” ungkap BPOM dalam keterangan tertulis yang diterima Surabaya Pagi,Kamis (20/10/2022).
Menurut BPOM, sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG kemungkinan berasal dari empat bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol, yang bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat.
Sumber : Surabaya Pagi